BANDUNG, Possore — Malam itu terasa panjang dan gelap bagi seorang perempuan muda yang baru saja menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Ia tidak menyangka bahwa malam yang seharusnya memberi ketenangan justru berubah menjadi mimpi buruk. Di balik lampu neon yang temaram dan aroma antiseptik yang khas, sebuah peristiwa mencengangkan terungkap—sebuah kasus dugaan pemerkosaan yang mengguncang dunia medis dan publik tanah air.
Korban—seorang perempuan yang identitasnya dirahasiakan demi perlindungan—dibius oleh dokter yang menanganinya sejak tengah malam hingga pukul 04.00 pagi. Dalam keadaan setengah sadar, tubuhnya terasa lemah dan langkahnya sempoyongan. Ketika sang kakak melihat gelagat aneh dari adiknya usai perawatan, ia meminta korban untuk buang air kecil.
Apa yang ditemukan kemudian membuat hati siapa pun akan tercekat. Dari urine korban, keluar cairan berwarna putih menyerupai sperma. Tidak menunggu lama, korban bersama sang kakak langsung melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian.
Pihak kepolisian kini tengah mendalami kasus ini dan telah menahan tersangka mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Jurusan Anestesi dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Priguna Anugrah Pratama (31 tahun).
Yang mengejutkan, tersangka yang dikenal sebagai bagian dari generasi muda dokter—yang kini dikenal dengan sebutan GenC (Generasi Canggih) tersebut ternyata korbannya mencapai tiga orang. Priguna melakukan aksinya pada 10, 16, dan 18 Maret 2025. Ketiga korbannya terdiri dari dua pasien RSHS dan seorang kerabat dari pasien di RSHS.
Keterangan yang diperoleh PosSore menyebutkan untuk melancarkan aksi mesumnya, Priguna menggunakan sejumlah modus, yakni pemeriksaan darah untuk donor, analisis anestesi, dan uji alergi obat bius. Priguna melancarkan aksinya memerkosa tiga korban pada sore dan tengah malam.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar Komisaris Besar Surawan menyatakan, saat memeriksa pasien, Priguna tidak diawasi oleh pihak lain. Oleh karena itu, pada saat kejadian, dia hanya berdua bersama pasien atau kerabat pasien yang kemudian menjadi korbannya.
Menurut Surawan polisi menemukan lebih dari 10 barang bukti dari hasil olah tempat kejadian di lokasi dugaan pemerkosaan. Barang bukti antara lain sampel DNA korban dan pelaku, pakaian, hingga obat bius.
Surawan mengatakan, dari dua kali hasil olah tempat kejadian, ditemukan sejumlah obat bius yang diduga digunakan Priguna dengan dosis berlebihan. Obat-obat itu adalah propofol, midazolam, fentanyl citrate, rocurium bromide, dan ephedrine hydrochloride yang masuk dalam daftar psikotropika golongan IV sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Penetapan dan Perubahan Penggolongan Psikotropika.
”Kami telah mengirimkan seluruh barang bukti ke Pusat Laboratorium Forensik Polri untuk pemeriksaan DNA. Kami juga akan menelusuri indikasi pelaku menggunakan obat bius dari luar rumah sakit,” kata Surawan.
Profesor Koentjoro, psikolog forensik dan anggota dewan penasehat Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR), menyebut bahwa tersangka terobsesi pada dunia virtual.
“Dokter ini GenC, sangat fasih dan akrab dengan dunia digital. Tapi di sisi lain, ia tampaknya kehilangan batas antara realitas dan fantasi dunia virtual,” ujar Prof. Koentjoro dalam keterangan kepada media.
Keterangan tersebut membuka kemungkinan bahwa pelaku memiliki kecenderungan perilaku menyimpang yang dipengaruhi oleh paparan intens terhadap konten-konten virtual yang menjurus pada pornografi atau pemerkosaan dalam fiksi digital. Sebuah masalah serius yang kini tak hanya menjadi perhatian dunia psikologi, tapi juga hukum dan etika kedokteran.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa teknologi, sebesar apa pun manfaatnya, bisa menjadi bumerang bila tak diimbangi kontrol diri dan pemahaman etika. Di tengah perkembangan dunia digital, batas antara dunia nyata dan maya kadang menjadi kabur—dan bisa membawa petaka, seperti yang kini menimpa seorang perempuan tak berdaya dalam ruang steril rumah sakit.
Kasus dugaan pemerkosaan ini kini tengah diproses di jalur hukum. Sementara itu, masyarakat menanti keadilan ditegakkan, dan korban mendapat perlindungan serta pemulihan yang layak. Dunia medis pun dihadapkan pada tantangan besar: menjaga integritas profesi sekaligus melindungi pasien dari bahaya tersembunyi yang bisa datang bahkan dari orang yang paling dipercaya. (aryodewo)