BANDUNG, PosSore — Syahrizal Mustafa, atau akrab disapa Rizal, adalah pelaku bisnis mebel yang telah sukses menerapkan manajemen berbasis teknologi dalam mengembangkan usahanya. Bagi pria yang mendirikan PT. RapidSoft International, PT. Maxima SS, dan menjadi pemegang saham di PT. Svara Inovasi Indonesia, teknologi, khususnya digital, bukan sekadar pelengkap, melainkan kunci untuk memajukan industri mebel dan kerajinan di Indonesia.
“Penguasaan teknologi, terutama teknologi digital, sangat penting bagi pengusaha mebel. Perkembangannya sangat pesat, membantu kami dalam berbagai aspek bisnis, mulai dari produksi, pemasaran, hingga pengelolaan keuangan,” ujar Rizal dalam percakapannya dengan PosSore Selasa 10/9) petang kemarin.
Berbekal pendidikan Teknik Elektro, kemudian dilanjutkan pada Program Beasiswa kolaborasi Indonesia-Perancis di Pascasarjana Teknik Informatika ITB untuk spesialisasi RTSE (Real Time Software Engineering), Rizal memiliki latar belakang kuat di bidang teknologi. Keahlian dan kompetensi ini menjadi modal penting bagi Riizal dalam menjalankan usahanya.
Tak hanya itu, pengalaman sebagai Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Bandung dan Priangan — sebelum melebur menjadi HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia) semakin memperkuat peran Rizal dalam mempromosikan penggunaan teknologi di sektor industri.
Menurut Rizal, penerapan teknologi di industri mebel memberikan banyak keuntungan. Salah satu contohnya adalah sistem production control & monitoring yang memungkinkan proses produksi berjalan simultan dan termonitor dengan baik. “Bahkan, potensi kebakaran di pabrik bisa dideteksi lebih awal dengan sistem smart fire detection yang terintegrasi,” jelas Rizal.
Selain itu, teknologi juga memudahkan pengusaha dalam memantau stok bahan baku serta pengelolaan keuangan dan pemasaran. Hal ini membuat operasional bisnis menjadi lebih efisien dan terstruktur.
Pengalaman Rizal berkeliling ke beberapa negara, termasuk kunjungannya bersama delegasi HIMKI ke Vietnam, membuka matanya bahwa industri mebel Indonesia masih tertinggal dalam hal teknologi. Vietnam, yang industri mebelnya berkembang pesat, sudah menerapkan sistem ERP (Enterprise Resources Planning) selama lebih dari satu dekade. “Sementara kita di Indonesia baru memulai, itu pun masih banyak yang enggan beralih ke sistem digital,” keluhnya.
Vietnam mampu menghasilkan 30 hingga 200 kontainer produk mebel setiap bulannya dengan jumlah karyawan yang relatif sedikit, berkat penerapan teknologi. Hal ini menjadi tantangan besar bagi industri mebel Indonesia yang masih bergantung pada tenaga kerja manual.
Syahrizal melihat pertumbuhan industri besar di negara lain bukan hanya dari segi skala, tetapi juga dalam penerapan teknologi yang lebih maju. Menurutnya, teknologi menjadi elemen penting yang mendorong efisiensi dan produktivitas industri, yang justru masih kurang diperhatikan di Indonesia. Di banyak negara, industri besar telah memadukan teknologi canggih dalam berbagai proses bisnisnya, baik dalam produksi maupun operasional.
Di Indonesia, menurut Syahrizal, industri mebel dan kerajinan masih cenderung mengandalkan sistem manual dan lebih banyak padat karya, atau bergantung pada tenaga kerja dalam jumlah besar. Hal ini membuat produktivitas industri menjadi terbatas, meskipun jumlah karyawan besar. Penggunaan teknologi yang lebih sedikit mengakibatkan proses produksi yang kurang efisien dan sulit bersaing di pasar global.
Syahrizal menegaskan bahwa industri di Indonesia perlu segera beralih dari sistem yang padat karya menjadi padat teknologi. Teknologi memungkinkan industri untuk meningkatkan skala dan kualitas produk, serta beradaptasi dengan tuntutan pasar yang semakin kompetitif. Tanpa transformasi ini, ia khawatir industri mebel dan kerajinan Indonesia akan terus tertinggal dari negara-negara lain yang sudah lebih maju dalam hal teknologi.
Rizal percaya, jika pengusaha mebel di Indonesia tidak segera mengadopsi teknologi, mereka akan kesulitan bersaing di pasar global. “Banyak yang masih nyaman dengan cara lama dan merasa sudah cukup dengan pencapaian saat ini. Padahal, tantangan ke depan akan semakin berat dan teknologi adalah solusi yang tidak bisa dihindari,” tegasnya.
Meskipun penerapan teknologi membutuhkan investasi besar, Rizal meyakini bahwa manfaat jangka panjangnya akan jauh lebih besar. “Investasi teknologi mungkin tidak langsung terasa, tapi dalam 3-5 tahun ke depan, kita akan melihat peningkatan efisiensi, produktivitas, dan kualitas produk,” tuturnya.
Sebagai Wasekjen Bidang Organisasi, UKM dan Promosi & Marketing di DPP HIMKI, Rizal ingin agar setiap perusahaan mebel memiliki IT Master Plan untuk memastikan penerapan teknologi dilakukan secara terencana dan tidak tambal sulam. “Perusahaan yang sedang berkembang wajib membuat perencanaan ini agar tidak membuang investasi secara sia-sia,” tambahnya.
Bagi Rizal, industri mebel Indonesia memiliki potensi besar untuk berkembang. Namun, tanpa perubahan mindset dan adopsi teknologi yang masif, industri ini akan sulit bersaing di pasar global yang semakin ketat. “Teknologi adalah masa depan, dan kita harus bersiap sekarang,” pungkasnya. (aryo)