Oleh Ramly Amin
SATU persatu kasus rangkap jabatan yang disandang beberapa rektor perguruan tinggi negeri mulai terungkap. Setelah kasus Rektor UI yang merangkap jadi Komisaris di salah satu bank BUMN , kemarin media mengungkapkan Rektor Unhas, Makassar, juga merangkap Komisaris di perusahaan swasta yang sebagian sahamnya milik pemerintah (Merdeka.com 30/6-21). Lalu, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) yang belum beroperasi, juga merangkap komisaris di salah satu bank BUMN (CNN Ind 6/7-21).
Isu rangkap jabatan ini, sebenarnya sejak tiga bulan lalu sudah diungkapkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga ini berjanji akan membongkar identifikasi adanya 62 direksi dan komisaris yang melakukan rangkap jabatan (Merdeka.com 24/3-21). Faktanya, isu ini baru menjadi sorotan masyarakat setelah aksi BEM UI pekan lalu yang mengintrodusir istilah The King of Lip Service ke dalam diskursus politik kontemporer di tanah air. Aksi itu sendiri berbuntut dipanggilnya para pengurus BEM UI oleh rektorat.
Nah, di tengah suasana demikian, di mana rakyat kembali dipertontonkan ulah para elit bangsa yang seenaknya berbagi jabatan ( bersamaam dengan tren bagi bagi jabatan komisaris untuk para pemuja ) yang membuat rakyat muak, seorang pembantu presiden tiba-tiba saja mengajak rakyat menyumbangkan vitamin buat para tenaga kesehatan (CNN Ind 6/7-21)
Kasus rangkap jabatan ini, tentu sangat menyakitkan hati rakyat. Sama dengan kasus korupsi dari masa ke masa – di era presidennya siapa pun –yang terus terjadi, dan terasa sangat menyakitkan serta berhasil memiskinkan rakyat. Dalam konteks inilah kita melihat, ajakan Menteri BUMN itu sebagai sebuah paradoks, dari kemungkinan sekian banyak paradoks yang tercipta di erah pemerintahan sekarang.
Sebenarnya sih…ajakan adalah sesuatu yang positip, bahkan tanda simpati, yang menempatkan pihak yang diajak pada posisi terhormat. Apalagi dari seorang Menteri.
Tapi, dalam suasana hantaman pandemic Covid 19 yang membuat banyak rakyat bergelimpangan tak tertangani, di tengah akumulasi frustrasi masyarakat yang tak bisa berbuat apa apa, tak bisa bergerak, cari makan, tanpa ada konvensasi, serta kondisi yang karut marut (Koran Tempo 6/7-21), ajakan yang dikemukakan Menteri BUMN itu menjadi terasa tidak simpati. Sebuah paradoks, yang hanya menunjukkan gagal pahamnya pemerintah terhadap kondisi rakyat yang sesungguhnya.
Dari kasus kasus rangkap jabatan yang terungkap, disertai dugaan yang dilontarkan KPPU, salahkah kalau kemudian orang menduga-duga, bukan tidak mungkin semua pimpinan perguruan tinggi negeri juga melakukan praktik rangkap jabatan ? Dugaan ini bisa menjadi sangat relevan apabila dikaitkan dengan kepentingan pragmatisme politik dalam upaya ‘’menjinakkan’’ kampus kampus di tanah air.
Apa yang dapat dikatakan adalah, betapa kalangan elit bangsa kita sudah terbiasa membagi bagi jabatan empuk di antara sesama mereka, walau sebenarnya dapat dikatakan penghasilan dan fasilitas yang mereka nikmati ‘’sudah lebih dari cukup’’. Kita percaya, kasus rangkap jabatan ini — menjadi direksi di sini dan komisaris di sana – adalah praktik lumrah dan sudah menjadi tradisi di kelangan elit bangsa.
Sejak kapan? Entah…..tapi ingat, suatu ketika pernah mencuat informasi terkait eksistensi banyak BUMN yang beranak pinak, yang bukan tidak mungkin di setiap anak bahkan cucu perusahaan yang terbentuk para pejabat BUMN itu juga merangkap komisaris.
Kasus rangkap jabatan ini, tentu sangat menyakitkan hati rakyat. Sama dengan kasus korupsi dari masa ke masa – di era presidennya siapa pun –yang terus terjadi, dan terasa sangat menyakitkan serta berhasil memiskinkan rakyat. Dalam konteks inilah kita melihat, ajakan Menteri BUMN itu sebagai sebuah paradoks, dari kemungkinan sekian banyak paradoks yang tercipta di erah pemerintahan sekarang.
Jika paradoks secara bebas diartikan sebagai pernyataan yang salah dan benar secara bersamaan, maka ajakan Menteri BUMN bisa saja tidak dapat diterima masyarakat, misalnya dengan ucapan sarcas, ‘’Perintahkan saja semua Komisaris BUMN dan para direksi menyumbangkan gaji mereka selama dua tahun sampai pandemic ini berlalu’’. (Ramly Amin, Anggota PWI No.09.00.3171.90).