Spanduk ‘School of Vaccine for Journalist’ terpampang di dinding ruang pertemuan Serikat Perusahaan Pers (SPS) lantai 6 gedung Dewan Pers. Ada sekitar 30 media cetak, online, radio, dan televisi yang mengikuti ‘sekolah’ selama dua hari (18-19 Agustus) ini.
Dari namanya, ‘sekolah vaksin’ ini jelas diperuntukkan bagi kalangan jurnalis. Tetapi para jurnalis ini tidak diajarkan bagaimana membuat vaksin, namun lebih kepada bagaimana mengolah informasi seputar vaksin semenarik mungkin dan berbeda dengan apa yang disajika media lain.
Para jurnalis dinilai berperan menginformasikan pentingnya vaksin bagi kesehatan tubuh. Karenanya, dari ‘sekolah’ ini para jurnalis diberi pembekalan tentang seluk beluk dunia vaksin dan Bioteknologi. Materi-materi pun seputar sejarah imunisasi, proses pengembangan riset vaksin, dan pendaftaran produk vaksin sebelum masuk ke pasar. Tak ketinggalan dibekali pula metode penulisan news features tentang Bioteknologi dari Pemred Majalah Tempo, Arief Zulkifli.
“Vaksinasi berperan dalam membentuk sifat adaptif pada sel sehingga sekali diaktifkan, maka akan terbentuk memori. Dampaknya, jika penyebab penyakit yang sama masuk kembali ke tubuh, maka respons tubuh untuk menghasilkan antibodi akan lebih cepat,” begitu kata Afiono Agung Prasetyo, M.D.,Ph.D, peneliti dari Universitas Sebelas Maret (UNS), yang tampil sebagai pemateri di hari pertama.
Sekretaris Satgas Imunisasi PP-IDAI dan Ahli Tumbuh Kembang Anak dari FKUI-RSCM, Dr Soedjatmiko, Spa (K), Msi, hadir sebagai pemateri hari kedua ‘School of Vaccine’ yang diadakan SPS – PT Bio Farma itu. Dalam penjelasannya, disebutkan Air Susu Ibu (ASI) tidak cukup melindungi bayi dari serangan penyakit. “ASI memang bisa mengurangi risiko angka kematian anak, namun tidak cukup. Harus ada makanan pendamping ASI yang cukup, perbaikan gizi dan suplemen memang akan mengurangi risiko, tetapi tidak mencegah secara total,” katanya.
Karenanya, imunisasi penting dilakukan, terutama bagi anak-anak yang dalam masa pertumbuhan. Imunisasi masih dinilai paling efektif dalam mencegah bayi sakit, cacat, bahkan kematian. Meski memang, di dunia ini tidak ada yang 100 persen menyembuhkan penyakit.
“Imunisasi terbukti dapat melindungi 85 sampai 95 persen. Apa artinya? di dunia ini tidak ada yang bisa menyembuhkan 100 persen. Tetapi, imunisasi mengurangi risiko jauh lebih besar dibandingkan jika tidak diimunisasi,” katanya.
Risiko anak yang tidak diimunisasi akan jauh lebih besar terhadap penyakit. Mulai dari sakit berat hingga menyebabkan kematian. Sementara itu, anak yang telah diimunisasi, kemungkinan jauh lebih kecil, sekitar 5 persen.” Jadi, tidak betul imunisasi melindungi 100 persen, tidak bisa dibilang imunisasi gagal,” tegasnya.
Head of Corporate Communications Department Bio Farma N. Nurlaela, berharap para jurnalis dapat menambah wawasannya seputar bioteknologi yang merupakan dasar pembuatan vaksin. Terlebih proses pembuatan vaksin bukan hal mudah dipahami masyarakat awam. Para jurnalis-lah yang dapat mengolah materi ini menjadi bahasa yang dimengerti masyarakat.
“Acara ini pun sekaligus menjadi ajang silaturahmi bagi Bio Farma dan kalangan media,” katanya. (tety)