JAKARTA (Pos Sore) — Pergantian kabinet mendatang harus menjadi momentum tepat dibentuknya Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi. Usul ini dinilai positif karena dapat memaksimalkan riset dan hasilnya. Terlebih selama ini, Indonesia masih lemah dalam inovasi.
“Dengan ada penyatuan kementerian ini, juga tidak ada ada lagi profesor riset dan profesor akademik. Ada perbedaan profesor ini justru menimbulkan dikotomi. Kita jadi bisa meniru negara-negara di Eropa,” kata Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama, Prof. Dr. R. Agus Sartono, MBA, di Kemenko Kesra, Selasa (11/3).
Dia menandaskan, pembenahan kurikulum ke depan harus berbasis UU No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3 Iptek). UU ini sebagai usaha mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.
“Pengembangan riset dan teknologi tak dapat dipisahkan dari pendidikan tinggi sebagai upaya mendongkrak industri dalam negeri. Ujungnya memang melakukan penelitian. Kalau di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, susah melakukan penugasan karena bisa tumpang tindih,” katanya.
Dikatakan, di negara lain juga begitu. Tak heran, jika kegiatan penelitian dan pengembangnnya lebih terpacu. Seperti halnya tiga ajaran pokok Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantora, yaitu mengamati, menambah, dan mencontoh.
“Karenanya, perlu grand desigh riset jangka panjang dan terukur. Karenanya, diperlukan inovasi menciptakan produk riset unggulan nasional yang mampu membidik dan bersaing di pasar internasional dan pasar domestik.
Tantangan lain, katanya, faktor pendidikan yang masih terjadi gap. Ada 4,4% penduduk miskin yang berniat meneruskan ke perguruan tinggi, sementara penduduk kaya/mampu sebanyak 43,6%. (tety)