JAKARTA (Pos Sore) – Jika ada keluarga, tetangga, atau teman dalam pengobatan antituberkulosis, pastikan pengobatannya tuntas. Jika pengobatannya berhenti di tengah jalan, berisiko menimbulkan resistensi obat, termasuk menimbulkan tuberkulosis extensively drug resistant (Tb-MDR).
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama, menyebut Tb-MDR menjadi perhatian serius pemerintah. Dalam catatannya, Indonesia berada pada nomor delapan dari 27 negara dengan beban terbesar Tb-MDR.
“Perkiraan insidensi Tb-MDR di Indonesia sebesar 6.395 kasus per tahun. Tb-MDR umumnya Tb yang resisten terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya,” katanya, dalam Temu Media, di Jakarta, Jumat (21/3)
Situasi tersebut bisa saja semakin parah jika terjadi kasus tuberkulosis extensively drug resistant (Tb-XDR). Salah satunya timbul akibat penyalahgunaan obat antituberkulosis lini dua. Saat ini, obat antituberkulosis lini dua yang beredar, seperti quinolon dan kanamisin, banyak disalahgunakan.
Contohnya, quinolon banyak digunakan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit lain di luar tuberkulosis sehingga begitu penderita terkena tuberkulosis, kuman telah resisten. Kemungkinan lainnya, terjadi kesalahan dalam pembelian obat yang dapat memicu resistensi.
“Penanganan Tb-MDR berpuluh kali lipat lebih mahal, lama, dan efek samping obat lebih berat. Lebih bahaya lagi, belum ada obat yang direkomendasikan untuk membunuh kuman Tb-XDR-TB,” tandasnya.
Tb-MDR ini, menurut Tjandra, akibat kesalahan manusia. Resistensi obat sebetulnya dapat diobati dengan menerapkan strategi DOTS (directly observed treatment shortcourse chemotherapy) atau pengawasan langsung menelan obat jangka pendek yang baik. Pengobatan juga harus lengkap dan harus memadai. (tety)