JAKARTA (Pos Sore) — Bencana banjir dan longsor yang terjadi di Kota Jayapura adalah akumulasi kemarahan alam atas sikap pejabat di kota itu yang tidak mampu untuk melakukan relokasi dan kurang memberdayakan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. “Pejabat di Jayapura terkesan masa bodoh dan sibuk memberdayakan APBD untuk kepentingan tertentu. Dan tidak ada transparansi dalam penggunaannya,” kata Calon Anggota Legislatif Partai Demokrat dari Dapil Papua, Willem Frans Ansanay (WFA) kepada Pos Sore (24/2).
Padahal, lanjutnya, jika saja ada transparansi dalam penggunaan anggaran pembangunan, masyarakat dapat dengan mudah diajak untuk berpikir sekaligus melakukan antisipati atas kasus alam yang berulang-ulang dialaminya sampai sempat menelan korban.
“Harusnya ada keterlibatan masyarakat dalam pemberdayaan anggaran pembangunan bukan sebaliknya APBN/APBD hanya untuk kepentingan tertentu,” tegasnya.
WFA juga mengimbau masyaraakat agar cerdas mengawasi anggaran pembangunan yang dikucurkan dari provinsi sebesar 80 persen atau sekitar Rp158 milyar rupiah itu. Sebab sangat dikhawatirkan dengan anggaran yang besar tersebut pejabatnya semakin happy diatas penderitaan rakyat.
“Mengawasinya sangat mudah, lihat saja rumahnya atau mobilnya yang cenderung konsumtif, dunia usaha di sekitarnya yang terus menerus mendapat kucuran proyek dan bobroknya perencanaan penataan kota.”
Sementara itu Ibor John Julius Boekorsjom dalam pernyataannya di sebuah jejaring sosial mengatakan, banjir dan tanah longsor jadi ancaman yang selalu mengintai warga Jayapura karena ketidakseriusan Pemerintah mengatasi persoalan itu. Sebab itu masyarakat dengan instrument hukum yang ada, dapat mengajukan gugatan hukum kepada pemerintah kota melalui gugatan kelompok (class action) akibat kelalaian pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sehingga menyebabkan kerugian masyarakat.
Selain itu juga dapat mengajukan gugatan PTUN, jika kemudian terbukti Pemerintah memberikan izin alokasi lahan yang bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Kota atau memberikan alokasi lahan kepada pengembang di lokasi yang berada di wilayah reservasi air.
Pihak pengembang juga dapat dituntut jika kemudian mengalih fungsikan Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial menjadi lahan komersial, atau melakukan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana siteplan perumahan yang diajukan ke Dinas Tata Kota untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Dasar gugatan adalah perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. (hasyim husein)