JAKARTA (Pos Sore) — Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menilai Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sekitar 20 persen-35 persen, sebagai kebohongan publik dan tidak mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di sisi lain, kebijakan ini justru akan memicu impor produk hulu hingga hilir secara besar-besaran.
Akibat kenaikan TDL, biaya produksi otomatis naik 15 persen. Impor akan membanjr. Kenaikan TDL justru perbuatan mendorong impor. Impor TPT saja sudah mencapai 70 persen, nanti bisa 100 persen impor.
“Di sisi lain, kebijakan ini justru akan memicu impor produk hulu hingga hilir secara besar-besaran.”
“Ini sangat tidak mendukung. Kenaikan TDL justru akan membuat industri semakin tidak bisa bersaing,” ungkap Ade di sela pameran Indo Intertex-Inatex-Indo Dyechem 2014, di PRJ, Rabu (23/4).
Dirjen Basis Industri Manufaktur (BIM) Kementerian Perindustrian, Harjanto mengungkapkan pihaknya tengah memikirkan kompensasi Insentif akibat kenaian Tarif Dasar Listrik (TDL) khususnya industri skala menengah kecil.
“Dikhawatirkan akan memicu kenaikan impor khususnya bahan baku hulu. Harus ada insentif sebagai kompensasi.”
Kebijakan restrukturisasi permesinan dari Kementerian Perindustrian, kata dia, sudah cukup membantu selama ini, dan akan terpuruk akibat kebijakan ini.
Selama ini kenaikan tarif ditentukan untuk skala besar,sekarang semua naik antara 34-38 persen. Ini akan mendorong impor besar-besaran ke Indonesia.
“Semua terlalu parsial. Indonesia terkota’-kotak. Masing-masing menteri asyik sendiri-sendiri. Kementerian ESDM asyik sendiri. Kemenperin juga asyik sendiri. Masing-masing menteri punya kebijakan sendiri.”
Ade juga menilai kalaupun ada kompensasi, tidak akan membantu karena kenaikan energi harus bayar energi. Siapa yangg mau kompesasi kalau upah naik 40 persen setiap tahun, pekerja juga tidak mau itu.
“Kalaupun ada kompensasi, tidak akan membantu karena kenaikan energi harus bayar energi.”
Sementara Harjanto mengungkapkan, sejauh ini kebijakan restrukturisasi permesinan sudah terealisasi sekitar Rp12 miliar dari Rp110 miliar yang dianggarkan.
“Kalaupun TDl memicu defisit neraca perdagangan, namun impor barang dagang dan modal tapi sifatnya produktif.” (fitri)