25/04/2025
Aktual Opini

Menyelamatkan Nyawa, Menjaga Harapan Palestina

Oleh: Maghfur Ghazali

KETIKA dunia menutup mata, Gaza terus dibombardir tanpa henti. Rumah-rumah hancur, rumah sakit diserang, dan kamp-kamp pengungsian pun tak lagi aman. Warga sipil menjadi korban utama dalam situasi yang kian memburuk. Dalam kondisi ini, Indonesia menawarkan langkah kemanusiaan dengan mengevakuasi sementara sebagian warga Gaza ke tanah air.

“Kami siap evakuasi mereka yang luka-luka, mereka yang kena trauma, anak-anak yatim piatu, siapa pun boleh. Pemerintah Palestina dan pihak-pihak terkait di situ mereka ingin dievakuasi ke Indonesia. Kami siap akan kirim pesawat-pesawat untuk angkut mereka. Kita perkirakan mungkin jumlahnya 1.000 untuk gelombang pertama,” kata Prabowo dalam keterangan pers di Pangkalan TNI AU, Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, sesaat sebelum memulai lawatan ke lima negara Timur Tengah, Rabu (9/4/) kemain.

Langkah ini tentu mencerminkan nilai luhur bangsa Indonesia: peduli, solider, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Namun di tengah niat baik ini, muncul sebuah pertanyaan yang tidak bisa diabaikan: apakah evakuasi ini secara tidak langsung justru menguntungkan pihak-pihak yang ingin mengosongkan Palestina dari rakyatnya sendiri?

Israel dan pendukungnya sejak lama diduga memiliki strategi jangka panjang untuk melemahkan eksistensi rakyat Palestina dengan memaksa mereka keluar dari tanah airnya sendiri. Dalam narasi ini, semakin banyak warga Palestina yang mengungsi, semakin mudah pula klaim mereka terhadap tanah, sejarah, dan identitasnya dikikis habis.

Maka, Indonesia harus melangkah dengan hati-hati. Langkah kemanusiaan ini harus dibingkai dalam strategi politik luar negeri yang cermat dan berpihak pada masa depan Palestina.

Evakuasi Bukan Eksodus

Pertama, pemerintah Indonesia perlu menegaskan bahwa evakuasi ini bersifat sementara, bukan relokasi permanen. Warga Gaza yang dievakuasi harus memiliki hak dan harapan untuk kembali ke tanah airnya. Tanpa komitmen ini, evakuasi bisa disalahartikan sebagai bentuk ‘pengosongan’ terstruktur wilayah Palestina.

Kedua, Indonesia perlu terus aktif di forum-forum internasional seperti OKI, PBB, maupun ASEAN untuk mendorong gencatan senjata, akses kemanusiaan tanpa hambatan, dan penegakan hukum internasional terhadap pelanggaran yang terjadi di Gaza. Kita tidak cukup hanya menerima pengungsi—kita harus bersuara untuk akar masalahnya.

Ketiga, mereka yang dievakuasi harus diberikan pendampingan psikologis, pendidikan, pelatihan keterampilan, dan ruang untuk bersuara. Dengan begitu, mereka tetap menjadi bagian dari perjuangan bangsanya, bukan hanya sebagai korban konflik, tetapi sebagai duta kemerdekaan Palestina dari luar.

Keempat, Indonesia dapat memimpin upaya bersama negara-negara Muslim untuk menyusun strategi kolektif: tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi menjaga hak dan martabat rakyat Palestina agar tetap hidup di tanahnya sendiri.

Menjaga Harapan

Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi teladan dunia—negara yang menyelamatkan tanpa kehilangan prinsip, menolong tanpa menyerah pada tekanan geopolitik. Di tengah reruntuhan Gaza, harapan tetap harus dijaga. Dan harapan itu bisa datang dari Indonesia. Di tengah ketegangan geopolitik dan kepentingan besar negara-negara adidaya, Indonesia bisa tampil sebagai kekuatan moral yang tidak hanya berbicara tentang perdamaian, tetapi juga bertindak nyata untuk menyelamatkan warga sipil dari penderitaan. Namun, penyelamatan ini harus dilakukan dengan tetap memegang teguh prinsip keadilan dan kedaulatan, bukan sekadar demi pencitraan atau kepatuhan pada tekanan luar.

Misi kemanusiaan Indonesia seharusnya tidak berhenti pada evakuasi fisik semata, melainkan juga menjadi bagian dari strategi advokasi jangka panjang bagi kemerdekaan Palestina. Evakuasi harus dilihat sebagai upaya penyelamatan sementara, bukan langkah menuju penghilangan rakyat Palestina dari tanah airnya sendiri. Indonesia perlu menegaskan kepada dunia bahwa bantuan kemanusiaan tidak berarti tunduk pada logika pembersihan etnis secara perlahan yang tengah dijalankan Israel.

Sebaliknya, Indonesia justru bisa memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat diplomasi internasional, menjadi juru bicara moral atas penderitaan Palestina di forum-forum global. Dengan menjadi tuan rumah sementara bagi warga Gaza, Indonesia dapat membuka ruang dialog, membangun kesadaran publik global, serta memperkuat posisi diplomatik Palestina dalam menuntut keadilan. Ini adalah bentuk konkret solidaritas, sekaligus strategi menjaga eksistensi politik dan identitas rakyat Palestina.

Di tengah reruntuhan Gaza, harapan memang terasa samar. Tapi harapan itu tetap harus dijaga. Dan Indonesia bisa menjadi pelitanya—menjadi negara yang menolong tanpa kehilangan arah perjuangan, menyelamatkan tanpa menyerah pada tekanan geopolitik, dan berdiri tegak sebagai bangsa yang konsisten memperjuangkan hak kemerdekaan setiap manusia, sebagaimana cita-cita luhur konstitusi kita: kemerdekaan adalah hak segala bangsa. ***

(Penulis adalah, Dosen, Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam, Institut Attaqwa KH Noer Alie Bekasi)

Leave a Comment