JAKARTA (Pos Sore) — Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, menegaskan PP 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi bertujuan untuk melindungi wanita, terutama yang hamil akibat perkosaan dan dalam kondisi darurat medis.
“Sebenarnya sudah ada UU tentang perkosaan sebagai kejahatan seksual yang pelakunya dihukum, korbannya dapat pengobatan medis dan psikososial. Tapi belum ada aturan bagaimana kalau dia hamil,” tandas menkes, di Kemenkes, Selasa, (20/8).
Menkes memaparkan korban perkosaan selama ini harus menanggung semua penderitaannya. Mulai dari beban psikologis hingga ekonomi. Anak yang nanti lahir pun akan mendapat stigma sebagai ‘anak haram’, anak yang tidak ada bapaknya. Penderitaan ini akan ditanggung seumur hidup.
“Apakah ini akan kita biarkan anak dilahirkan dengan tidak diharapkan? Anak seharusnya dilahirkan dengan cinta bukan disertai kebencian dari sang ibu. Kalau anak dikandung oleh ibu yang secara emosional membenci anak ini, maka bisa terjadi kelainan pada anak. Apalagi ketika dia lahir terus dibenci, tentu bukan itu yang kita harapkan,” tandasnya.
Meski begitu, aborsi akibat perkosaan tidak bisa dilakukan begitu saja. Perlu beberapa pembuktian yang kuat serta rekomendasi dari ahli. Aborsi yang dilakukan tidak dilakukan secara asal-asalan. Harus dibuktikan dengan usia kehamilan dari surat keterangan dokter, keterangan penyidik, psikolog dan ahli lain.
Kemenkes sendiri juga tengah menyusun Peraturan Menteri (Permenkes) terkait pelatihan bagi tenaga kesehatan yang bisa melakukan aborsi berdasarkan indikasi medis. Dalam Permenkes itu disebutkan pengenaan sanksi administratif terhadap tenaga dan fasilitas kesehatan yang melanggar aturan terkait aborsi dan kehamilan diluar cara alamiah.
“Jadi PP ini bukan PP aborsi, tetapi tentang kesehatan reproduksi. Jadi, itu sama saja sebagai hak asasi manusia. PP ini berkaitan dengan proses dan sistem reproduksi perempuan dan laki-laki,” ujarnya.
PP 61 Tahun 2014 ini pelaksanaan dari UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di dalamnya terdapat Pasal 71 yang menyebut tentang ketentuan kesehatan reproduksi tidak hanya kesehatan fisik, namun juga mental dan sosial secara utuh. Dalam salah satu babnya disebutkan, aborsi sebenarnya dilarang, namun, diperbolehkan jika ada indikasi kedaruratan medis dan kasus pemerkosaan. (tety)