RABU pekan ini (6/8), Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menyidangkan permohonan sengketa pemilu presiden 2014 yang diajukan pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa. Sidang sengketa ini dilakukan beberapa kali dalam 14 hari kerja hingga sampai putusan. Apapun hasilnya nanti — terlepas dari segala kekurangan yang dimiliki MK, pressure yang dilakukan sementara media – putusan MK haruslah dianggap sebagai jalan terbaik dan harus diterima.
Memang, putusan apa pun yang dihasilkan MK, akan terus menjadi bahan diskusi dan tidak akan memuaskan semua pihak. Bagi MK sendiri, tak ada pilihan lain, selain bertindak professional dan menjaga integritasnya sekalipun, misalnya, jalannya sidang-sidang sengketa pilpres ini dibayang-bayangi tekanan massa yang tidak kecil.
Lalu, apa yang dapat atau sepatutnya dilakukan rakyat Indonesia, khususnya para pemilih, dengan hasil putusan MK ini nantinya?
Selain menerima hasil putusan MK, tentu saja rakyat Indonesia harus sudah mulai menyiapkan diri menerima kehadiran seorang presiden/ wakil presiden baru plus jajaran kabinetnya yang — bukan tidak mungkin — tidak selalu sesuai dengan keinginan mayoritas rakyat .
Pengalaman-pengalaman masa lalu, misalnya dengan terpilihnya secara mutlak SBY sebagai presiden dua kali berturut-turut, namun kemudian banyak kebijakan kabinetnya yang membuat rakyat kecewa, adalah pengalaman yang cukup berharga. Bagi rakyat /masyarakat, bersikap kritis terhadap siapa pun yang memerintah adalah cukup logis dan menjadi pilihan terhormat, betapa pun ketika pemilihan presiden berlangsung rakyat memberi dukungan penuh bahkan emosionil kepada presiden terpilih.
Melalui rubrik ini, ingin kita kemukakan, di sinilah letak pentingnya makna sebuah kalimat sederhana: bagaimana menjadi pemilih yang cerdas.
Sebagai catatan, banyak yang memberi pernyataan, bahwa pemilihan presiden kali ini begitu emosionil, menegangkan, bahkan sampai pada kalimat yang mengilustrasikan seolah-olah anak bangsa (baca: rakyat Indonesia) telah terpecah dua. Di satu sisi, gambaran di atas memang menggembirakan. Tapi sisi lain, dari sudut pandang kualitas demokrasi, gambaran tersebut dapat juga dikatakan tidak menggembirakan sama sekali.
Dikatakan tidak menggembirakan, karena rakyat pemilih sekonyong-konyong harus masuk atau dimasukkan ke dalam kotak-kotak pro dan kontra. Kalau tak memilih No.1 berarti menjadi pemilih No.2. Demikian sebaliknya. Dan itu berarti berseberangan. Polarisasi menjadi begitu kental. Setiap pemilih di negeri ini begitu emosionil dan menjadikan setiap masalah yang muncul terkait calon presiden diperlakukan sebagai masalah yang sangat genting, yang dibahas dengan emosi membuncah sampai ke ubun-ubun.
Kenyataan itu, sesungguhnya bisa merugikan rakyat sendiri. Dukungan yang terlalu membuta terhadap calon presiden,bisa menumpulkan daya kritis terhadap calon itu kelak apabila si calon terpilih, atau juga bisa mebuat rakyat hanya sebatas kecewa, kecewa, dan kecewa.
Karena itulah, tak ada kata lain, rakyat harus kembali menjadi rakyat yang kritis. Betapapun dukungan emosionil sudah diberikan kepada Jokowi, misalnya, atau Prabowo, seyogianyalah rakyat tidak alpa mencatat segala janji-janji yang dilontarkan capres-capres itu, untuk kemudian menagihnya. Toh…rakyat Indonesia sudah sering termakan oleh janji-janji gombal para politisi. Saatnya hal itu harus dihadapi dengan dada terbuka.(ras)
.