Oleh: Maghfur Ghazali
ANGIN politik perlahan berhembus. Tidak selalu disambut riuh. Terkadang ia datang diam-diam, membawa perubahan yang dalam, tanpa sempat dirayakan apalagi diperdebatkan panjang. Begitulah barangkali yang terjadi ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 pada 26 Juni 2025 lalu. Tak banyak gegap gempita. Tapi dampaknya, mengubah peta perjalanan demokrasi di negeri ini secara fundamental.
Dalam putusan itu, MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah harus diselenggarakan secara terpisah, dengan jarak waktu paling singkat dua tahun dan paling lama dua setengah tahun. Putusan ini, suka atau tidak, menutup pintu bagi penyelenggaraan pemilu serentak yang sebelumnya telah menjadi konsensus. Padahal kita tahu, pemilu serentak dibangun dengan semangat penyederhanaan dan efisiensi, sekaligus menjaga irama demokrasi tetap selaras di tingkat pusat dan daerah.
Kini, dengan berpisahnya jadwal pemilu, sejumlah persoalan baru mengintip di balik pintu. Akan kembali hadir penjabat (Pj) Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang ditunjuk tanpa pemilihan langsung. Akan muncul perpanjangan masa jabatan anggota DPRD yang tak lagi diganjar oleh mandat rakyat. Kekhawatiran pun menyeruak: akankah ruang demokrasi menyempit, hak-hak politik warga negara terpinggirkan?
Sebagian kalangan menilai, putusan MK ini seolah merampas wewenang politik DPR dan MPR dalam menentukan desain pemilu nasional. Tapi dalam konstitusi kita, putusan MK adalah final dan mengikat. Tak ada ruang untuk mengajukan banding. Yang tersisa hanyalah bagaimana kita menyikapi dan menjaga agar demokrasi tidak kehilangan napasnya.
Kepala daerah dengan status Pj sering dianggap rentan pada penyalahgunaan kekuasaan. Pada masa transisi pemilu 2024 misalnya, beberapa laporan dari media dan pengawas pemilu mengindikasikan adanya Pj kepala daerah yang secara terbuka menghadiri kegiatan partai politik tertentu, bahkan diduga ikut menggalang dukungan. Ada pula Pj yang menerbitkan kebijakan penting seperti mutasi pejabat, perubahan anggaran daerah, hingga penyesuaian peraturan daerah, padahal masa jabatannya seharusnya bersifat sementara dan terbatas pada fungsi administratif.
Padahal, sebagai Pj, mereka seharusnya menjaga netralitas dan tidak berpihak. Bawaslu menemukan indikasi keterlibatan Pj di beberapa provinsi dalam kegiatan sosialisasi partai politik yang mengarah pada keberpihakan. Karena itu, skema pengisian Pj harus dibuka secara transparan. Publik perlu dilibatkan, setidaknya dengan uji kelayakan terbuka, agar masyarakat bisa memberikan catatan dan pengawasan sejak awal. Kewenangan para Pj juga mesti dibatasi tegas. Mereka cukup mengurus hal-hal administratif, bukan mengambil kebijakan strategis yang berdampak panjang bagi daerah.
Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa pemilu berisiko menggerus legitimasi politik. Untuk itu, opsi seperti pemilu sela (by-election) bisa menjadi pertimbangan agar wakil rakyat tetap memperoleh mandat yang sah dari pemilih. Jika tidak memungkinkan, pengawasan publik terhadap kinerja legislatif yang diperpanjang harus diperkuat.
Jarak yang lebar antara pemilu nasional dan pemilu daerah memang bisa menurunkan gairah politik warga. Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu memastikan edukasi politik berjalan, agar partisipasi publik tidak menurun. Demokrasi yang sehat hanya lahir dari partisipasi yang aktif dan kesadaran politik yang terjaga.
Menjaga Marwah Demokrasi
Putusan MK tak bisa dibatalkan, tapi demokrasi harus tetap dikawal. Pemerintah, legislatif, penyelenggara pemilu, dan masyarakat sipil memikul tanggung jawab bersama untuk memastikan sistem baru ini tidak menjadi lorong gelap yang meminggirkan rakyat.
Demokrasi bukan sekadar mekanisme elektoral. Ia adalah ruang hidup di mana suara rakyat diberi tempat, partisipasi dijaga, dan kekuasaan dikawal. Kita harus memastikan, perubahan sistem ini tetap memberikan panggung yang layak bagi rakyat untuk bersuara.
Demokrasi memang selalu berproses. Ia tidak selesai dalam satu putaran pemilu. Terkadang, ia diuji oleh sistem yang berubah. Tugas kita adalah menjaga, agar perubahan itu tidak menghilangkan hak-hak warga negara di jalan sunyi birokrasi.**
Penilis adalah dosen pada Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, Institut Attaqwa KH Noer Alie (IAN) Bekasi