16 C
New York
13/10/2024
Aktual Kesra

Menelusuri Jejak Sejarah Bung Hatta di Boven Digoel

BOVEN DIGOEL adalah penjara alam yang didirikan pemerintah kolonial Hindia Belanda di Pulau Papua. Kondisi penjara ini sangat tidak bersahabat dan digunakan pemerintah kolonial Belanda untuk mematahkan perlawanan kaum pergerakan.

Sumber lain menjelaskan Boven Digoel adalah tempat pembuangan, pengasingan, atau hukuman bagi orang-orang yang dianggap membahayakan pemerintahan kolonial Belanda.

Kamp Boven Digul terletak di hilir tepi sungai Digul yang dipersiapkan dengan tergesa-gesa untuk mengatasi kebijakan akhir pemerintah kolonial terhadap orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan komunis 1926.

Kamp konsentrasi pertama yang dibuat di Indonesia oleh Belanda ini berada di Tanah Merah, Boven Digoel, Papua Selatan. Kamp ini sengaja dibangun di pinggir Sungai Digoel yang banyak dihuni buaya buas. Letak kamp sekitar 500 kilometer dari muara Sungai Digoel yang berakhir di Laut Arafura.

Selain banyak dihuni buaya, kondisi alam di Boven Digoel juga sangat keras, dengan suhu udara panas, hutan lebat, dan ancaman penyakit malaria tropika yang mematikan, serta beri-beri. Orang-orang yang dibuang ke kamp konsentrasi Digoel adalah orang-orang yang dianggap Belanda memiliki kekuatan pengaruh yang tinggi.

Dengan dibuang ke Digoel yang jauh dan sangat terpelosok, tidak mungkin ada orang yang datang mengunjungi para buangan. Mereka juga tidak akan lari karena satu-satunya akses adalah Sungai Digoel yang banyak buayanya.

Meskipun tak ada praktik siksaan dan pembunuhan di Boven Digoel, tahanan di sini disiksa dengan kesepian dan perasaan asing yang berkepanjangan, dalam rentang waktu yang lama.

Penjara bernilai sejarah, yang kemudian dikenal dengan sebutan Penjara Bung Hatta dibangun pemerintah Belanda pada 1927. Hatta sendiri semasa muda dikenal sebagai cendekiawan dan aktivis pergerakan nasional.

Bung Hatta dibuang oleh pemerintah kolonial bersama 1.300 tahanan lain ke Penjara Boven Digoel karena dianggap berbahaya dalam pergerakan. Saat dibuang, Bung Hatta meminta izin untuk membawa delapan peti buku.

Aktivis pergerakan lain yang pernah dibuang bersama Bung Hatta ke Boven Digoel adalah Sayuti Melik, Sutan Syahrir, Chalid Salim, Lie Eng Hok, Muchtar Lutfi, dan Ilyas Ya’kub (tokoh PERMI dan PSII Minangkabau) serta Mas Marco Kartodikromo yang wafat dan dimakamkan di Boven Digoel pada 1935.

Strategi pengasingan Pemerintah Belanda di Digoel menjadi catatan hitam bagi sejarah pergerakan nasional di Indonesia. Mengingatkan negeri ini dibangun oleh pemimpin-pemimpin yang mau menderita, seperti Mohammad Hatta, Sjahrir, Mohammad Bondan, dan sebagainya.

Mereka sebenarnya bisa hidup enak jika mau bekerja sama dengan Belanda, tetapi memilih untuk dibuang dan diasingkan karena idealisme dan cita-cita memerdekakan bangsa Indonesia.

Di depan kantor polisi Digoel, ada satu patung besar Bung Hatta. Tepat di depan patung Hatta, ada satu bandara yang dibangun di masa pembuangan. Bandara ini kecil, hanya pesawat perintis yang bisa mendarat.

Patung dan bandara (Tanah Merah) itu menjadi saksi bahwa Boven Digoel adalah persinggahan, bahkan hunian terakhir, bagi orang-orang pergerakan yang tak mau mematuhi Belanda. Tanah Merah di Boven Digoel adalah tanah para pembangkang. 

Menelusuri kembali jejak kebangsaan adalah suatu hal yang penting dilakukan agar kita bisa menempatkan berbagai permasalahan yang kita hadapi hari ini, khususnya dalam permasalahan Papua, pada perspektif kesejarahan yang benar.

“Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan tanah air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku,” begitu kata Bung Hatta. (tety)

Leave a Comment