Oleh Prof. Dr. Haryono Suyono
DALAM rangkaian perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang penuh rasa syukur ini ada baiknya kita kenang para pendiri bangsa dan para pahlawan pembangunan yang memberikan keteladanan perjuangan yang penuh pengabdian. Perjuangan yang dilakukan dengan sabar tetapi selalu berihtiar tanpa putus asa, berjuang tanpa meminta imbal jasa. Mereka mengabdi tanpa instruksi, tanpa mengeluh, pantang mundur dan selalu mengetengahkan karya nyata tanpa memperhitungkan imbalan “uang proyek” yang dibutuhkan untuk pembiayaan kerja cerdas dan keras tersebut.
Kesabaran dan ihtiar yang tidak putus-putusnya itulah yang akhirnya mengantar kemerdekaan dan hasil hasil gemilang yang kita nikmati dan membawa keharuman nama bangsa dewasa ini. Kita bersyukur bahwa mereka tidak menuntut balas atas perjuangan yang mengorbankan waktu, harta benda dan nyawa yang sangat tinggi harganya. Kita bersyukur bahwa sebagian dari mereka kita ingat dan perhatikan, serta kepadanya diberikan penghargaan dalam berbagai bentuk dan sebagian dikukuhkan sebagai pahlawan bangsa.
Sebagian lainnya tetap tidak kita kenal dan tidak diberikan penghargaan yang sewajarnya mereka terima. Keluarga mereka ikhlas dan tidak menuntut balas biarpun nenek-moyangnya telah mengorbankan segalanya untuk perjuangan bangsa. Bahkan karena nenek-moyangnya berjuang keras itu, nasib anak cucunya terlantar. Sekolah tidak dapat dipenuhi dengan baik, hanya mengecap pendidikan yang rendah dan tidak mampu mendapat pekerjaan yang seimbang dibandingkan jasa orang tua atau nenek-moyang dalam perjuangannya.
Keikhlasan perjuangan yang gegap gempita itu sebagian besar dilanjutkan oleh generasi muda dalam mengisi kemerdekaan bangsa, mengangkat dan mengantar keluarga yang tertinggal dalam pembangunan. Para penerus itu mengantar keluarga dengan tekun agar bisa mengikuti arus berpartisipasi, bekerja cerdas dan keras yang akhirnya bisa menikmati hasil pembangunan dan menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera. Tetapi ada saja yang mengeluh karena tidak diajak berpartisipasi dan tidak bisa menikmati hasil kemerdekaan, mencaci-maki para pemimpin yang dianggap tidak becus yang disangkanya secara sengaja meninggalkan mereka di belakang tanpa peduli. Perasaan seperti itu akhirnya melahirkan sikap negatif yang mengantar seseorang yang frustasi pada perjuangan dalam bentuk lain, kekerasan atau kritik yang tiada hentinya, untuk mencapai cita-cita yang menjadi idamannya.
Mengikuti ajakan pejuang pendidikan di masa lalu, antara lain Ki Hadjar Dewantara, dimana-mana didirikan sekolah dan tempat-tempat kursus ketrampilan, termasuk sekolah dan pelatihan ketrampilan dalam lingkungan pondok pesantren. Karena keterbatasan lulusan sekolah yang menghasilkan guru, siapa yang dianggap mampu diangkat menjadi guru dan dengan sukarela, hampir tidak digaji, dengan senang hati banyak anak muda mengorbankan waktunya berbagi ilmu kepada anak muda lainnya. Sebagian besar dari anak didiknya bisa melanjutkan pendidikan di sekolah formal, berhasil menjadi sarjana atau ahli dalam berbagai bidang, memperoleh pekerjaan yang baik dan akhirnya mengembangkan keluarganya menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Dalam contoh kasus lainnya, di tahun 1970-an sampai akhir tahun 2000-an, banyak tenaga sukarela yang bekerja keras berkunjung ke rumah-rumah keluarga yang tinggal di pedesaan, di pegunungan, bersusah-payah melewati jalan terjal, sungai tanpa jembatan, atau menanjak gunung melewati jalan sempit yang berbahaya tanpa mengenal resiko keselamatannya sendiri. Kunjungan itu dilakukan langsung karena kesadaran bahwa pesan pemerintah kepada setiap keluarga yang tinggal di pedesaan harus sampai kepada sasarannya.
Keluarga yang dikunjungi tidak mempunyai radio, tidak pernah membaca surat kabar, apalagi menonton televisi, sehingga dengan sukarela anak anak muda relawan itu membawa pesan pembangunan yang sekilas kedengaran seperti menentang arus. Anak anak muda itu adalah relawan yang tergelitik bahwa kemiskinan dan kebodohan disebabkan antara lain karena setiap keluarga mempunyai anak yang jumlahnya melebihi kemampuan orang tuanya memberikan gizi dan pendidikan yang baik, sehingga dari generasi ke generasi tetap saja tidak berubah nasibnya sebagai keluarga miskin.
Pekerjaan mulia itu membawa hasil yang gilang-gemilang. Program KB di Indonesia menarik minat keluarga muda dan paritas rendah sehingga tingkat kelahiran menurun drastis. Dunia internasional tercengang karena Indonesia yang relatif termasuk negara berkembang mampu melaksanakan program yang biasanya berhasil hanya di negara maju. Kerja sukarela itu menarik juga pemerintah sehingga tenaga sukarela yang dianggap memenuhi syarat diangkat menjadi pegawai negeri hampir tanpa fit and proper test. Mereka kemudian makin bersemangat dan dengan partisipasi gotong royong dan kerelaan keluarga dan masyarakat secara luas, hasilnya makin gegap gempita. Target program yang seharusnya dicapai pada tahun 2000 dapat dipercepat dan diselesaikan dengan sukses pada tahun 1990-an.
Keuntungannya bersifat ganda. Kaluarga Indonesia makin sejahtera dan banyak tenaga yang kemudian terkenal sebagai petugas lapangan KB, mendapat nama baik. Petugas ini mendapat penghargaan kalangan pemerintah dan dianggap siap membantu pemerintah daerah dalam tanggung jawab dan tugas yang lebih luas.
Dalam kesempatan lowongan jabatan, ada yang diangkat menjadi kepala desa, lurah, camat bahkan ada yang menjadi bupati atau walikota, atau pejabat teras di kantor-kantor kecamatan, kabupaten atau kantor pemerintah lain. Alasannya sangat jelas karena mereka biasa kerja cerdas dan keras membawa pesan yang biarpun kelihatan menentang arus, dengan tehnik, kesabaran dan ihtiar yang tinggi akhirnya bisa meyakinkan keluarga desa menjadi peserta KB yang setia.
Pada saat kita memperingati Hari Kemerdekaan RI sekarang ini, kita melihat sekeliling dan merenung apakah contoh yang dibawakan antara lain oleh para penjuang bangsa, guru dan relawan yang akhirnya menjadi petugas lapangan KB itu masih ada. Nampaknya persatuan dan kesatuan serta kepedulian antar keluarga yang ada makin pragmatis dan serba diperhitungkan. Lelucon NPWP (nomer piro wani piro), biarpun kelihatannya seperti tidak sungguhan, nampaknya mulai melekat dan menjadi embrio dari budaya yang sangat berbahaya.
Kegiatan sukarela dan peduli terhadap anak bangsa makin luntur dan digantikan dengan usaha individual yang dengan segala cara ingin merebut kekuasaan, menang sendiri dan memperoleh keuntungan sebesar besarnya terhadap segala sesuatu yang akan atau yang sedang dilakukannya.
Mudah-mudahan peringatan Hari Kemerdekaan tahun ini menjadi momentum untuk mengembalikan semangat gotong royong dengan disertai kesabaran yang membangkitkan ihtiar yang konsisten tanpa putus asa dan berakhir dengan rasa syukur kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa karena cita-citanya dapat dicapai berkat kerjasama gotong royong yang bersahabat dan ihklas. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri)