Oleh Prof DR Haryono Suyono
SEMINGGU setelah Hari Raya Idul Fitri, tidak kurang dari 5000 mahasiswa dan Dosen Pembimbing Lapangan Universitas Negeri Surabaya (UNESA), dilepas oleh Rektor, Prof. Dr. Warsono, MS yang baru baru ini resmi menggantikan Rektor lama, Prof. Dr. Muchlas Samani, ke lima kabupaten di Jawa Timur. Beberapa hari sebelum upacara pelepasan itu, Ketua LPPM, Prof. Dr. Ir. Drs. I Wayan Susila, MT., bekerja sama dengan seluruh Dekan dan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) mempersiapkan para mahasiswa melalui kuliah pembekalan yang cukup matang.
Mahasiswa didampingi Dosen Pembimbing Lapangan akan tinggal di desa selama lebih satu bulan dan bekerja bersama rakyat desa dalam pemberdayaan keluarga melalui pembentukan dan pengisian Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) seraya mencari jalan guna mengentaskan kemiskinan.
Dalam upacara yang dilakukan secara resmi, seakan seperti upacara melepas prajurit ke medan pertempuran yang dahsyat, ribuan mahasiswa itu berbaris tertip dan serius. Dalam upacara yang sangat anggun itu, Rektor memberi kesempatan kepada Ketua Yayasan Damandiri ikut menambah pembekalan bagi lebih dari 5000 mahasiswa dan Dosen Pembimbing Lapangan itu dengan tema khusus pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan sumber daya manusia, suatu tambahan pembekalan agar mahasiswa yang umumnya calon tenaga pendidikan lebih mantab mendidik rakyat di desa yang tidak dengan mudah mengikuti semua “mata kuliah” seperti mahasiswa, atau tunduk pada kurikulum yang dibawa oleh Dosen Pembimbing.
Seperti diketahui, pada umumnya rakyat dan keluarga di desa, dengan kedatangan mahasiswa, tidak bermaksud sekolah, tetapi justru mahasiswa KKN yang perlu menawarkan “kuliah” dengan cara yang menarik. Mahasiswa perlu membawa “kuliah kerja nyatanya” seperti “tontonan” yang mengundang “rakyat desa sebagai penonton” yang fanatik, dan mengusahakan agar penonton ikut “menyanyi” dan “menari” seakan terbawa irama yang merdu, yang didengar, dan kemudian diikuti dengan riang gembira.
Pembekalan dan upacara pelepasan itu secara khusus mengharapkan agar setiap mahasiswa mendekatkan diri kepada masyarakat dengan penuh simpati, sehingga mampu melahirkan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) yang banyak jumlahnya di pedesaan. Posdaya ini, selama masa kuliah kerja nyata (KKN) dipersiapkan mendapatkan petunjuk dari para mahasiswa dan dosen pembimbing agar dapat hidup dan berjalan dengan lancar membangun keluarga yang sejahtera. Lebih-lebih lagi, perlu disadarkan bahwa upaya pembangunan sumber daya manusia bukan pekerjaan ringan. Apabila salah langkah, dengan mudah bisa menimbulkan frustasi dan rakyat tidak peduli lagi terhadap upaya yang ditawarkan.
Oleh karena itu, kepada setiap mahasiswa dianjurkan untuk tidak mencari desa dengan perangkat desa yang sulit atau mempersulit pengembangan Posdaya atau sulit menerima gagasan yang diperkenalkan. Para mahasiswa dianjurkan menggunakan bahasa sederhana tanpa merubah tujuan yang telah digariskan. Delapan sasaran MDGs tidak perlu diperkenalkan dengan bahasa ilmiah yang rumit, tetapi dijelaskan dengan sederhana, kalau perlu dalam bahasa Jawa yang mudah dimengerti dan dilaksanakan dengan baik oleh rakyat dan keluarga di desa. Setiap keluarga tidak dinilai kemampuannya untuk lulus atau tidak lulus, tetapi bisa melaksanakan pesan-pesan pembangunan dalam tingkah laku yang positif dan menguntungkan.
Sebagai calon guru, setiap mahasiswa perlu memahami ukuran keberhasilan kegiatan KKN bukan dengan menguji setiap keluarga, tetapi melihat apakah keluarga yang diberdayakannya mempraktekkan ajarannya. Cara mengajarnya barangkali lebih bersifat pamong seperti pernah diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, “ngemong” dan membuat setiap keluarga lebih banyak diberikan pelajaran praktek dibanding pelajaran teori yang rumit. Masyarakat desa diajak menganut pola Maton, menyegarkan dan meningkatkan Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta mendalami dan melaksanakan Pancasila melalui tingkah laku kehidupan nyata, yaitu praktek budaya peduli, ikhtiar gotong royong saling membantu sesama keluarga tetangganya. Selanjutnya dikembangkan kegiatan hidup Waras, artinya setiap keluarga diajak memelihara kesehatan agar bisa berumur panjang dan memberikan manfaat kepada rakyat banyak.
Dalam budaya Maton dan Waras itu setiap keluarga sejak anak-anaknya usia dini diajak mengembangkan cita-cita Wasis, artinya setiap anak usia sekolah yang dimilikinya disekolahkan agar mempunyai kecakapan dan ketrampilan yang tinggi dan bisa memanfaatkan kesempatan yang terbuka. Lebih lanjut dianjurkan untuk berusaha selalu bisa Wareg, artinya setiap keluarga didorong dan dibantu bekerja sehingga bisa mengentaskan kemiskinan dan mempunyai tingkat pendapatan yang memadai. Dan akhirnya bisa Mapan, yaitu setiap keluarga dianjurkan memelihara lingkungannya yang nyaman dan memberi manfaat untuk kehidupan yang sehat, damai dan sejahtera.
Dengan pedoman itu, para mahasiswa diminta mengajak masyarakat mengikuti gerakan dengan sasaran dan target MDGs melalui pembentukan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) di desa-desa. Dalam prakteknya para mahasiswa diharapkan untuk tetap memelihara desa yang pernah dikunjunginya dengan tekun agar hasil garapannya menjadi legenda yang membesarkan hati dan meningkatkan penghargaan masyarakat terhadap almamater Universitas Negeri Surabaya. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri)