JAKARTA, PosSore – Lawatan delegasi industri mebel Indonesia ke Vietnam baru-baru ini membuka mata para pelaku usaha di tanah air tentang pesatnya perkembangan industri mebel dan kerajinan di negara tersebut. Dari hasil kunjungan ke beberapa pabrik dan pameran mebel, kesimpulannya jelas: Vietnam jauh melampaui Indonesia dalam skala produksi, teknologi, dan ekspor mebel.
Industri mebel Vietnam berkembang pesat, salah satunya terlihat dari pabrik-pabrik yang mampu mengekspor hingga 200 kontainer mebel setiap bulan. Ini mencerminkan tingkat produksi yang signifikan dan menempatkan Vietnam sebagai salah satu eksportir utama mebel di dunia, jauh di depan Indonesia.
Kemajuan tersebut bukan tanpa alasan. Teknologi dan permesinan canggih menjadi faktor pendorong utama yang membuat industri mebel Vietnam maju belasan hingga puluhan tahun dibandingkan dengan Indonesia, yang masih didominasi oleh metode produksi manual dan padat karya. Inovasi teknologi di Vietnam bahkan memungkinkan pabrik-pabrik di sana beroperasi dengan lebih efisien dan produktif.
“Delegasi Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) melakukan kunjungan ke Vietnam untuk mempelajari strategi dan teknologi yang diterapkan pelaku industri mebel di sana,” ujar Iman Rahman, Ketua Bidang Promosi dan Pemasaran Wilayah Asia DPP HIMKI dalam percakapan dengan PosSore, Jumat (20/9) kemarin
Kunjungan tersebut termasuk pertemuan dengan Binh Duong Furniture Association (BIFA) dan mengunjungi beberapa pabrik mebel besar seperti Lam Viet Joint Stock Company dan Hiep Long Fine Furniture Company, yang masing-masing memproduksi lebih dari 200 kontainer per bulan. Pabrik-pabrik di Vietnam juga telah menerapkan sistem Enterprise Resources Planning (ERP) selama lebih dari 15 tahun untuk mengintegrasikan semua proses produksi dan distribusi, sesuatu yang masih langka di Indonesia.
Teknologi dan Produktivitas
Iman Rahman mengakui bahwa penerapan teknologi di Vietnam memberikan mereka keunggulan kompetitif. Sementara pabrik-pabrik di Indonesia sering kali memiliki ribuan pekerja, produktivitasnya tidak sebanding dengan pabrik-pabrik Vietnam yang memanfaatkan teknologi modern. Tavico, salah satu perusahaan besar di Vietnam, memiliki kapasitas produksi yang mencapai 200 ribu meter kubik kayu per tahun dan telah menjadi bagian dari rantai pasok kayu global.
“Di Indonesia, kita masih banyak mengandalkan tenaga kerja manual, sedangkan Vietnam sudah jauh melangkah dengan teknologi yang canggih. Ini perbedaan besar dalam hal efisiensi dan skala produksi,” tambahnya.
Ironisnya, di Indonesia, investasi dalam teknologi masih terbatas. Banyak pelaku industri mebel yang enggan mengubah pola pikir mereka, meskipun teknologi jelas dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing. Imam Rahman memperkirakan jika para pengusaha mebel di Indonesia tidak segera beradaptasi dengan teknologi, maka industri mereka akan semakin tertinggal dan mungkin stagnan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren penurunan ekspor mebel Indonesia terjadi sejak 2021. Ekspor mebel Indonesia yang sempat mencapai USD 3,5 miliar pada 2021 turun menjadi USD 2,5 miliar pada 2023. Sebaliknya, Vietnam terus mencatat pertumbuhan positif, dengan ekspor produk kayu dan mebel mereka mencapai USD 15 miliar, lima kali lipat lebih besar dari Indonesia.
Beberapa faktor yang menjadi tantangan bagi industri mebel Indonesia antara lain dampak pandemi COVID-19, konflik geopolitik global, hingga regulasi Uni Eropa yang memperketat persyaratan ekspor produk kayu. “EU Deforestation Regulation (EUDR) yang akan berlaku pada 2025 juga bisa menjadi hambatan besar bagi produk kayu Indonesia jika kita tidak mampu menelusuri asal-usul bahan baku secara transparan,” jelas Iman.
Namun, peluang untuk belajar dari Vietnam terbuka lebar. Presiden BIFA, Nguyen Liem, menyatakan kesiapannya untuk meningkatkan kerjasama dengan HIMKI dalam upaya mengakselerasi ekspor kedua negara. Vietnam dan Indonesia, menurutnya, sama-sama memiliki potensi besar di sektor pengolahan kayu dan mebel.
“Kami berharap kerjasama antara BIFA dan HIMKI dapat terus ditingkatkan. Dengan bersatu, kedua negara bisa membuat perbedaan besar di kawasan ASEAN,” ujar Nguyen.
Hubungan perdagangan antara Indonesia dan Vietnam juga terus berkembang. Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Ho Chi Minh, Agustaviano Sofjan, mencatat bahwa perdagangan bilateral antara kedua negara telah tumbuh tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir, dari USD 4 miliar pada 2014 menjadi USD 14 miliar pada 2023.
Komoditas utama yang diekspor Indonesia ke Vietnam mencakup batu bara, minyak kelapa sawit, otomotif, dan baja. Kedua negara juga memiliki potensi besar untuk mengembangkan kerjasama di bidang lain mengingat besarnya populasi masing-masing negara yang mencakup 55 persen penduduk ASEAN.
Dengan melihat perkembangan yang begitu pesat di Vietnam, HIMKI berharap pelaku industri mebel di Indonesia segera berbenah dan mengadopsi teknologi untuk meningkatkan daya saing di pasar global. “Vietnam sudah melesat jauh. Jika kita tidak segera mengejar, kita akan kehilangan peluang besar di industri ini,” pungkas Iman Rahman. (aryo)