JAKARTA (Pos Sore) — Sudah rahasia umum jika proses legislasi di Indonesia, sangat belum memuaskan. Di tingkat Pemerintahan Pusat masih banyak tunggakan Rancangan Undang-Undang (RUU) dan minimnya Undang-Undang yang dapat diselesaikan. Ini menunjukkan kinerja DPR di bidang legislasi belum optimal.
Di ranah eksekutif, Perencanaan (Prolegnas) yang belum disusun secara sistematis dan cenderung ego sektoral. Kondisi ini diperparah dengan sistem kerja yang tidak memadai.
Keadaan ini ditengarai menjadi faktor siginifikan penyebab buruknya kinerja legislasi parlemen. Demikian halnya yang terjadi pada proses legislasi di tingkat Pemerintahan Daerah.
Buruknya kinerja legislasi parlemen akan berdampak luas. Secara kualitatif, sistem legislasi yang buruk diyakini akan menghasilkan kualitas regulasi yang buruk pula. Yang akan berdampak buruk pada kinerja perekonomian negara, karena regulasi yang dihasilkan seringkali menimbulkan ketidakpastian hukum dalam implementasinya.
“Karenanya, Pemerintah dan DPR periode 2014 – 2019 mempunyai tugas dan kewajiban yang besar untuk memutus rantai kerumitan proses legislasi yang ada selama ini. Melalui paradigma baru legislasi yaitu better regulation berdasarkan kajian akademis dan teoritis yang dapat dipertanggungjawabkan,” kata Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA.
Ia menandaskan hal itu usai membuka Seminar Nasional Arsitektur Baru Regulasi (Better Regulation) Untuk Kesejahteraan Rakyat, di Kantor LAN RI, Rabu (3/9). Seminar ini dalam rangka menyambut Pemerintahan Baru Republik Indonesia, hasil kerjasama Asosiasi Sarjana dan Praktisi Administrasi (ASPA d/h PERSADI) dengan Lembaga Administrasi Negara (LAN).
Ia mengungkapkan, secara faktual dapat dilihat, akibat kinerja periode sebelumnya, DPR Periode 2009-2014 memikul beban kerja yang sangat berat. Setidaknya hingga akhir 2013, produk legislasi DPR periode 2009-2014, memiliki kecenderungan yang lebih baik dibandingkan DPR periode sebelumnya. Namun bukan berarti kinerja legislasi parlemen sudah membaik.
“Sebagai contoh, kinerja legislasi DPR pada Prolegnas 2009-2014 bidang ekonomi dinilai mengecewakan, mengingat hanya 10 RUU yang disahkan dari 39 RUU yang direncanakan. Sisanya, 8 RUU masih dalam proses pembahasan, sedangkan 21 RUU tidak pernah disentuh sama sekali,” paparnya.
Evaluasi UKP4 juga menyatakan bahwa masih terjadi dishamonisasi antar sesama Peraturan Menteri.
Fadel Muhammad, Ketua ASPA, berpendapat, negara demokrasi dunia kini dikenal sebuah konsep baru yang disebut sebagai better regulation. Bila tadinya dalam sebuah sistem yang peranan negara sangat dominan, diperlukan pendekatan regulation yang sangat ketat yang otoriter yang kurang membuka partisipasi masyarakat.
“Sebagai antitesanya, lahir pendekatan deregulation yang sangat liberal yang memberikan kepada pasar dan masyarakat kebebasan mengatur diri sendiri, dengan harapan terjadinya titik keseimbangan secara otomatis,” kata Fadel yang juga merupakan anggota DPR terpilih periode 2014-2019.
Diharapkan seminar ini bisa menjadi masukan pada pemerintahan baru nanti. (tety)