Oleh Haryo B. Rahmadi
SEPANJANG era reformasi, terutama semakin mendekati tahun pemilu seperti tahun 2014 ini, semakin banyak orang berbicara tentang kepemimpinan. Apabila kita membaca buku maupun surat kabar, maka akan kita jumpai begitu banyak teori maupun pendapat tentang kepemimpinan. Bahkan ada yang langsung berpraktek dengan menggali beragam ide-ide ilmiah maupun popular tentang sosok pemimpin yang ideal. Untuk keperluan ini kerap diadakan forum-forum yang menampilkan tokoh-tokoh dengan kualitas kepemimpinan yang dianggap baik untuk berbicara tentang kepemimpinan.
Baru-baru ini ada sebuah forum yang digagas oleh seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden, di mana dalam forum tersebut ia mengumpulkan kepala-kepala daerah yang dianggap reformis untuk bercerita perihal kisah sukses mereka.Ada yang berpendapat bahwa seorang pemimpin itu dapat dicetak melalui sebuah proses seperti pendidikan di mana ia belajar memimpin dan dipimpin. Pemimpin seperti ini disebut pemimpin transformatif.
Pendapat lain menyatakan bahwa pemimpin merupakan pilihan Tuhan yang tidak bisa dicetak oleh manusia. Pemimpin seperti ini disebut sebagai pemimpin kharismatik. Ia lahir dengan takdir menjadi pemimpin dengan kharisma bawaan rahim Ibunya.
Ada pula yang mengacu kepada “Great Event Theory” di mana pemimpin itu lahir dari sebuah permasalahan besar yang menuntut jawaban segera. Dalam konteks ini, pemimpin adalah orang yang mampu memberikan jawaban terbaik bagi rakyat atas permasalahan tersebut.
Menyikapi berbagai pendekatan tentang kepemimpinan tersebut, banyak pro-kontra yang kemudian mengemuka. Besar kalangan menyatakan bahwa pemimpin yang lahir dari hirarki pendidikan hanya akan melahirkan seorang administratur. Ia terlatih untuk mengikuti prosedur dan mengumpulkan riwayat hidup sebagai syarat kenaikan pangkat. Hirarki demikian hanya akan mencetak orang yang bertindak dengan insentif posisi. Ia tidak bakal mampu menghadapi sebuah masalah yang tidak dipelajarinya di buku, apalagi ketika risikonya berdampak pada kemajuan karir.
Sebagian kalangan lain berpendapat sebaliknya, bahwa pemimpin kharismatik justru berbahaya untuk masa-masa seperti Indonesia saat ini. Pemimpin kharismatik memiliki tendensi untuk mengambil langkah ekstrim yang mungkin bisa menerobos permasalahan besar, namun berdampak pada goncangnya stabilitas.
Terlepas dari pro-kontra tersebut, kedua kubu bersepakat bahwa kualitas kepemimpinan memang harus diuji oleh permasalahan-permasalahan. Sikap tindak pemimpin dalam menghadapi deretan permasalahan ini lah yang akan menghiasi daftar riwayat hidupnya. Bukan pujian yang diberikan orang, terlebih lagi pujian yang dirancang sendiri. Dalam hal ini ada pendapat yang menyatakan bahwa perbedaan pokok antara pemimpin dengan yang bukan pemimpin terletak pada huruf “n”. Tanpa huruf “n”, maka seorang pemimpin sejatinya hanya akan menjadi seorang pemimpi. Huruf “n” ini kemudian diterjemahkan sebagai “nyali” dalam menghadapi permasalahan besar yang mungkin tidak hanya berdampak pada diri sendiri dan keluarga, namun berdampak pula pada kedaulatan Bangsa dan Negara.
Guna melepaskan diri sejenak dari perdebatan di atas, sebuah pemikiran terobosan pada musim dingin 2007 telah diungkapkan oleh Barbara Kellerman, seorang cendekiawan Amerika Serika, melalui “Harvard Business Review” (HBR), jurnal bisnis milik Universitas Harvard yang sudah kesohor di seluruh dunia. Ide yang diungkapkan Kellerman cukup sederhana di mana ia menegaskan bahwa tidak bisa disebut sebagai seorang pemimpin manakala sesorang itu tidak memiliki pengikut. Kellerman menggarisbawahi bahwa pemimpin ada karena ada yang dipimpin. Namun demikian, selama ini orang terlalu sering berbicara tentang sosok pemimpinnya saja, dan jarang sekali bicara mengenai yang dipimpin. Tanpa ada pengikut yang dipimpin, tentu tak akan ada yang namanya pemimpin itu.
Berdasarkan ide Kellerman, maka di atas segala kualitas kepemimpinannya, seorang pemimpin haruslah orang yang memahami keberadaannya di tengah pengikutnya secara mendalam. Seperti seorang Ibu yang harus melindungi, merawat, dan mendidik anak-anaknya, demikian pula seharusnya seorang pemimpin. Meskipun si Ibu tidak memiliki pendidikan yang cukup, tidak pula memiliki harta, dan bahkan tidak berparas ayu, selama ia menempatkan kebahagian anak-anaknya sebagai syarat bagi kebahagiaan dirinya, maka tetap ia akan mendapatkan tempat yang tinggi di mata dan hati anak-anaknya.
Seseorang yang dengan ikhlas meletakkan kebahagiaan dan kemajuan rakyat di atas citra pribadinya akan secara otomatis memenangkan hati dan pembelaan rakyat.
Kembali kepada contoh Ibu di atas, seorang ibu yang dengan segala kekurangan pendidikan dan hartanya bisa saja memutuskan untuk mencuri obat di apotik demi mengobati anak-anaknya. Ketika ternyata ia tertangkap dan dibawa ke kantor polisi, maka bukan kesembuhan yang diperoleh oleh anak-anaknya, namun lebih lagi tambahan derita karena si Ibu tidak lagi dapat menjaga mereka. Meskipun kelak anak-anak ini tahu bahwa apa yang dilakukan oleh Ibu mereka adalah sebuah kesalahan, bahkan kebodohan, tapi tidak akan mereka membenci Ibunya. Mereka tahu pasti bahwa Ibu telah melakukan itu semua demi kesembuhan mereka.Demikianlah seharusnya seorang pemimpin.
Bagi bangsa kita, kesadaran untuk memaknai kepemimpinan sebagai amanat dari mereka yang dipimpin bukanlah hal yang baru sama sekali. Seorang tokoh pemimpin yang sangat kita kenal, seorang Panglima yang justru tidak lahir dari akademi militer, dan bukan semata Panglima, namun Panglima Besar Jendral Sudirman, pernah menegaskan bahwa “Tempatku yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buahku”. Pak Dirman yang secara fisik tampak kurus, bahkan masih pula didera oleh penyakit di tengah pertempuran, tidak hanya mendapatkan tempat di hati prajurit-prajuritnya dan seluruh bangsa, namun juga menempatkan hati dan pikirannya di tengah-tengah seluruh Rakyat.Inilah sejatinya salah satu amanat utama dalam kepemimpinan yang disampaikan oleh Pak Dirman sebelum tahun 1950, jauh sebelum Harvard menuliskannya di tahun 2007.
Seorang pemimpin tidak hanya mendapatkan tempat di hati rakyatnya, namun juga menempatkan hati dan pikirannya di tengah-tengah seluruh Rakyat. Kepemimpinannya tidak boleh menjadi hasil dari kesuksesan marketing politik. Kepemimpinannya haruslah menjadi jawaban bagi pencarian panjang yang telah dilakukan rakyat selama ini di seluruh penjuru Nusantara. Dalam konteks bangsa kita yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa, ketika kita yakin bahwa suara rakyat adalah Suara Tuhan, maka tidak berlebihan kiranya apabila seoarang pemimpin haruslah pula menyembah rakyatnya. (Haryo B. Rahmadi /Kombatan 45)