JAKARTA (Pos Sore) — Wabah korupsi di Indonesia sangat memuakkan. Pelakunya semakin banyak dan terdiri dari berbagai kalangan. Perilaku para perampok uang negara itu juga betul-betul tak masuk akal.
Bayangkan, belakangan ini menjadi tren, bahwa uang yang dikorupsi yang jumlahnya tidak taggung-tanggung itu cenderung justru dibelanjakan untuk pamer kemewahan serta membagi-bagikannya ke kalangan selebriti.
Lihat misalnya Akil Mochtar, yang bekas Ketua Mahkamah Konstitusi. Lihat juga Tb Chaery Wardana alias Wawan, adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosyiah, dan lihat pula Fathanah, rekan dekat Luthfi Hasan Ishaq yang mantan Presiden PKS.
“Bagi rakyat kecil, kenyataan memunculkan pertanyaan: Kenapa sih Indonesia belum memberlakukan hukuman mati bagi koruptor?”
Uang yang mereka terima, selain dibelikan puluhan mobil, juga dibagi bagikan ke kalangan selebriti. Kenapa seh di era Presiden SBY yang pernah memproklamirkan diri berdiri paling depan membasmi korupsi justru korupsi kian menjadi-jadi?
Ada pendapat, hukuman bagi para koruptor terlalu ringan. Ada yang menduga karena korupsi tak lepas dari jaringan politik. Bagi rakyat kecil, kenyataan memunculkan pertanyaan: Kenapa sih Indonesia belum memberlakukan hukuman mati bagi koruptor?
Padahal, hampir di setiap era, usulan tentang perlunya hukuman mati bagi para koruptor selalu muncul. Lengkap dengan segala argumennya. Walau selalu memancing pro dan kontra, tapi kenapa tak pernah jadi kenyataan? ‘’Memang koruptor itu harus dihukum mati, perbuatan mereka sudah menyengsarakan rakyat,’’ kata politisi dari Partai Gerindra, Ralie Siregar.
Sekitar tiga tahun lalu, hukuman mati bagi koruptor ini juga muncul. Ketika itu, anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa, menyatakan mendukung hukuman mati dengan sejumlah syarat.
Achmad mengemukakan sejumlah alasan mengapa koruptor harus dihukum mati, antar lain korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Korupsi juga telah mendorong pemiskinan masyarakat, membuat bangsa Indonesia rentan dan lemah, serta menggerogoti kemampuan Indonesia dalam memobilisasi investasi.
Pernyataan Mas Ota ini (panggilan akrab Mas Achmad Santosa) merupakan reaksi terhadap isu l pentingnya hukuman mati bagi koruptor yang kembali digulirkan Menkumham ketika itu, Patrialis Akbar. Patrialis mengatakan, secara normatif, undang-undang yang mengatur hukuman mati koruptor sudah ada.
Menteri merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kenyataannya, hingga kini Indonesia tak berani menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Kenapa sih? (lya)