12.3 C
New York
26/10/2024
Aktual

Keabsahan Pileg-Pilpres 2014 Dipertanyakan

Jakarta – Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu yang dikomandani Effendi Gazali, Kamis (23/1).

Ketua Majelis Hakim, Hamdan Zoelva, saat membacakan amar putusan di Jakarta, menekankan pelaksanaan Pemilu harus dilakukan secara serentak sejak tahun 2019. Dalam pertimbangannya, Majelis juga menegaskan, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan – sebagaimana dilaksanakan selama ini (red) — telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi juga menyatakan pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi.

Putusan MK ini tak urung menuai pro-kontra, setuju dan tidak setuju. Namun dapat diperkirakan, implikasi putusan MK ini akan menimbulkan perdebatan terhadap sah tidaknya secara konstitusi pelaksanaan Pileg dan Pilpres tahun 2014 yang dilaksanakan terpisah. MK sendiri sudah menyatakan pelaksanaan Pilpres setelah Pileg tak sesuai UUD 45.

Menurut MKl, praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki.

Boros danMerugikan Pemilih

Effendi Gazali dan kawan kawan (dkk) menguji sejumlah pasal dalam UU Pilpres terkait penyelenggaran pemilu dua kali yaitu pemilu legislatif dan pilpres.

Pemohon menganggap Pemilu legislatif dan Pilpres yang dilakukan terpisah itu tidak efisien (boros) yang berakibat merugikan hak konstitusional pemilih.

Effendi mengusulkan agar pelaksanaan pemilu dilakukan secara serentak dalam satu paket dengan menerapkan sistem presidential cocktail dan political efficasy (kecerdasan berpolitik).

Presidential Coattail, setelah memilih calon presiden, pemilih cenderung memilih partai politik atau koalisi partai politik yang mencalonkan presiden yang dipilihnya. Tapi jika political efficasy, pemilih bisa memilih anggota legislatif dan memilih presiden yang diusung partai lain.

Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mengemukakan, praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. “Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi,” katanya.

Menurut mahkamah, mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), terutama antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik.

“Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah,” ungkap Fadlil.

Dalam praktiknya, lanjutnya, model koalisi yang dibangun antara partai politik dan/atau dengan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden justru tidak memperkuat sistem pemerintahan presidensial.

“Pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh gabungan partai politik tidak lantas membentuk koalisi permanen dari partai politik atau gabungan partai politik yang kemudian akan menyederhanakan sistem kepartaian,” jelasnya.

Untuk MK menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Leave a Comment