Oleh Prof. Dr. Haryono Suyono
AKHIR- akhir ini, dengan pengertian mendalam atau setengah tahu, bergulir diskusi tentang kependudukan di Indonesia. Pengertian yang membawa dampak pada pengembangan antisipasi pembangunan sosial ekonomi adalah bergulirnya istilah Bonus Demografi yang konon akan terjadi pada tahun 2020-2030 dimana angka ketergantungan, yaitu proporsi penduduk yang dianggap berada pada usia produktif dan penduduk yang tidak produktif mencapai posisi yang paling menguntungkan. Proporsi yang menguntungkan itu akan bermanfaat kalau penduduk usia produktif mempunyai pendidikan dan ketrampilan yang memadai serta bekerja atau mempunyai usaha produktif. Kalau mereka mempunyai pendidikan yang rendah dan tidak produktif, maka keuntungan proporsi yang menguntungkan itu sesungguhnya tidak ada, atau tidak menguntungkan dan tidak harus disebut
sebagai bonus tetapi justru menjadi masalah.
Menurut penerbitan resmi BPS tentang Proyeksi Penduduk Indonesia, angka ketergantungan yang terkecil adalah pada periode tahun 2030. Menurut istilah Demografi, tahun inilah yang dianggap sebagai datangnya Bonus Demografi. Tetapi angka ini sesungguhnya tidak banyak bedanya dengan asumsi sebelumnya untuk tahun 2015, 2020 dan 2025, yaitu masing-masing sebesar 48,6, 47,7 dan 47,2. Oleh karena itu, sesungguhnya melimpahnya penduduk usia produktif itu sudah terjadi jauh hari sebelum tahun 2030, bahkan sudah terjadi sejak keadaan kependudukan di Indonesia mulai mengalami transisi demografi dimana pertumbuhan penduduk usia dewasa, 15 – 65 tahun, melonjak keras gara-gara melambatnya pertumbuhan penduduk usia remaja dan kanak-kanak karena keberhasilan program KB di Indonesia. Pada waktu itu pertumbuhan penduduk dewasa melaju dengan cepat sementara pertumbuhan penduduk lansia juga bertambah dengan lebih cepat namun jumlahnya relatif masih kecil, pengaruhnya juga relatif kecil.
Dari data resmi Proyeksi Penduduk BPS dapat kita lihat bahwa Proporsi Penduduk usia 15 – 64 tahun mulai tahun 2010 saja sudah diasumsikan berjumlah lebih dari 65,5 persen. Artinya penduduk produktif sudah harus mendapat perhatian dalam bidang kesehatan dan KB, pendidikan dan ketrampilan agar sebagian besar dapat diserap dalam lapangan kerja dalam bidang jasa dan kewirausahaan. Proyeksi itu akan meningkat terus menjadi 67,3 persen di tahun 2015, 67,7 persen di tahun 2020, 67,9 persen di
tahun 2025, 68,1 persen di tahun 2030 dan 67,9 persen di tahun 2035. Angka-angka yang kelihatannya naik relatif kecil itu, kalau dibaca sepintas bisa juga menyesatkan karena angka presentase itu harus dikalikan dengan jumlah penduduk yang diproyeksikan akan naik terus.
Pada tahun 2010 BPS memakai angka jumlah penduduk 238,518 juta yang dinilai banyak pihak sebagai angka yang “under estimate”. Dengan asumsi dasar itu angka jumlah penduduk untuk tahun 2035 hanya menjadi 305,652 juta jiwa yang menurut banyak pihak akan menempatkan pemerintah di masa depan hampir pasti gagal mengerem pertumbuhan penduduk, karena akan terbukti bahwa jumlah penduduk di tahun itu akan lebih tinggi dari proyeksinya.
Apapun proyeksi proporsi penduduk usia 15-64 tahun, angka presentase itu harus dikalikan dengan jumlah penduduk. Artinya pertambahan jumlah penduduk usia 15-64 tahun akan sangat tinggi dan tidak perlu ditunggu sampai tahun 2020 atau tahun 2030, penduduk muda di Indonesia perlu segera diberikan pelayanan kesehatan yang prima, pendidikan dan ketrampilan yang memadai serta kesempatan kerja yang jauh lebih besar setiap tahunnya. Pemberitaan akan adanya Bonus Demografi yang disalah-artikan bisa menyesatkan karena setiap pemangku kebijakan bisa saja menunggu sampai “Bonus” itu datang. Sementara, selama bertahun-tahun “menunggu” atau “sibuk” mempersiapkan langkah-langkah menyongsong datangnya bonus, sesungguhnya dewasa ini kondisi penduduk pada kelompok penduduk muda sudah sangat gawat. Apalagi definisi “bekerja” tak menggambarkan keadaan yang wajar.
Kegawatan itu ditambah lagi dengan asumsi BPS tentang tingkat kelahiran (TFR) yang memakai angka 2,4 di tahun 2012, padahal menurut beberapa ahli sudah naik menjadi 2,6 atau 2,7 anak, sehingga bisa saja Proyeksi BPS itu menyenangkan pemerintah dewasa ini, tetapi akan menyesatkan perkiraan karena pertumbuhan penduduknya rendah. Akibatnya, pertumbuhan dan perkiraan jumlah penduduk di masa depan under estimate dan menjebak para perencana pembangunan dengan perkiraan tantangan kebutuhan pelayanan kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja yang lebih rendah dari kebutuhan sesungguhnya.
Apalagi pertumbuhan penduduk pencari kerja di masa depan menjadi terbuka karena adanya penduduk usia kerja dari berbagai negara yang juga mendapat tekanan penduduk yang sama dan mencari kerja disini. Marilah mengembangkan pembangunan berwawasan penduduk dan keluarga sekarang juga tanpa menunggu “Bonus Demografi” yang bisa menyesatkan. (Prof. Dr. Haryono Suyono, mantan Menteri Kependudukan, www.haryono.com)