Oleh MPU WESI GENI
BAGIAN DUA
MENURUT muridku Endang Widarso, tusuk yang dimaksud nama gaib itu adalah ilmu ALIP (yang merupakan tusuk satu, berdiri). Sedang apa yang kami pakai sekarang adalah salah satu cabang ilmu Alip dimaksud. Mengapa Hiyang Tusuk Tunggal mengatakan apa yang kami amalkan ini baginya masih ada kekurangannya?
Karena itulah aku mengajak Pak Ukik sebagai kuncen Guha Pasir Besi mengantarkan kami ke daerah Hyang Prabu Tusuk Tunggal. Pertama kali kami mendatangani Kek Bohi yang berumur 118 tahun, yang isterinya sedang sakit berumur 98 tahun. Ke belakang rumahnya itulah makam itu pindah. Sedang kedua anak laki-laki yang sepasang itu telah lajang besar.
Apa yang di dalam radar gaib Endang memang tuntunan yang tepat. Dari rumah Kek Doho kami dibawa keponakannya menuju jalan ketepi laut. Melintasi sebuah jalan kecil, menuju pohon agak rindang, terdapat sebuah berbatu-batu bongkah. Tepat seperti yang dilukiskan Endang dalam setengah sadarnya.
Isteri Pak Doho menceritakan, bila tengah hari orang masih berada di tepi laut, datang suara orang tua serak dan parau mengatakan, bahwa bila tengah hari, harus berhenti bekerja. Dalam keadaan demikian hanya kelihatan bayangan putih seperti orang berjubah panjang berkelebat dan menghilang. ‘’Semua orang yang berdekatan dengan Ibu Ely dahulu, memang mengatakan demikian Pak Mpu,’’ ujar Pak Ukik.
Terkadang ada cahaya putih bersinar menuju tepi pantai lekuk ladam Pelabuhan Ratu, sekira-kira tepat di depan Gedung Manik sekarang ini.
Dikatakan Pak Ukik, bahwa Hyang Prabu Tusuk Tunggal-lah yang mengatur ke dua puluh tujuh muara sungai yang menuju Pelabuhan Ratu. Demikian juga, sampai ke mata-mata air yang merembes ke luar dari dalam guha, melalui celah-celah batu berlubang. Seperti dikatakan oleh beberapa orang di tepi pantai, ada kalanya kelihatan air membusa dari permukaan laut yang sedang tenang, tepat di hadapan arah Guha Pasir Besi. Air itu seolah-olah bagai disemprotkan dari satu lobang besar di bawah dasar laut. Air itu tawar rasanya ketika tercampak ke wajah mereka dan meleleh ke bibir.
Tetapi dua lempeng besi yang dipacakkan pada gugusan tanah gundukan itu sudah tak ada lagi. Mungkin telah menghilang atau tertimbun di bawah tanah. Pada zaman Jepang pancang besi itu masih kelihatan. Karena Jepang pada waktu penjajahannya memagar sebahagian teluk Pelabuhan Ratu dengan kawat berduri.Dan pada waktu itu pancang lempeng besi seperti tusuk sanggul besar itu masih kelihatan. Tetapi setelah tempat itu tidakdirawat lagi, hilang tanpa bekas.
‘’Pak Mpu,’’ ujar Endang, ‘’Saya serahkan saja bagaimana selanjutnya untuk merawat tempat ini. Karena jelas sekali, ia mencekal logam segi empat itu dikeluarkan dari dalam sejengkal di bawah tanah.’’
‘’Tentu ada rahasia terpendam dalam lempeng logam itu,’’jawabku.
‘’Ya, rasanya memang begitu…pak Mpu,’’ ujar Endang kembali.
Aku merasa tak ada kurangnya lagi dari zikir delapan penjuru sudut cincin Sulaiman as, dengan sebuah ayat isim di tengahnya.
Kalau ditambah dengan sebuah ayat lagi, tentu jumlahnya menjadi sepuluh. Di manakah ayat atau rangkum doa itu akan diletakkan? Atau, doa itu diucapkan, di luar, sebagai penutup kehendak tersendiri dalam bidang-bidang penyelidikan tertentu?
‘’Bagaimana warna yang menghunjam ke tepi pantai itu?’’ Tanyaku kepada Pak Ukik yang tadinya menerima jabawan dari pak Doho.
‘’Putih pijar, seperti apai kawat las. Atau…seperti bola neon yang bulat,’’jawab Pak Ukik.
‘’Tidak bercampur merah?’’ Songsongku lagi, bertanya.
‘’Tidak, tidak. Tetapi putih pupus. Bahkan tak juga kekuningan seperti bulan. Jauh lebih putih dari buan dan bintang.
Itu kutanyakan, sebab warna cahaya dari sesuatu pertanda gaib dapat dijadikan pedoman. Jika cahaya yang terbang itu merah, berlainan jenis gaibnya. Jika yang keluar cahaya hijau, ada makna tersendiri pula. Ada pula yang kuning, tetapi yang utama adalah yang putih.
Sepakat, semua yang melihat cahaya yang berkelebat menuju laut dari gundukan batu berbongkah itu adalah cahaya putih pupus.
Seolah-lah yang gaib itu menunjukkan kepada ku, dengan perantaraan muridku Endang, bahwa apa yang dipakai Mpu Wesi Geni masih kurang satu kunci lagi, kalau semata-mata akan dipergunakan untuk penyelidikan gaib.
Memang itulah pendirianku selama ini. Bahwa kami bergerak seperti teraturnya matahari akan terbit atau terbenam. Tidak tersentak-sentak, teratur berpindah, dengan jalan beringsut sekali pun. Itu lebih baik dari pada dipaksakan tergesa-gesa tetapi menempuh berbagai sekat di dalam perjalanan. Ketika Widarso berangkat, aku berusaha mengumpulkangelar-gelar gaib dari Tuhan. Dengan susah payah akhirnya kutemukan tiga buah, dan yang dari ketiga itu kupilih satu, yang mungkin tidak akan meleset lagi seperti diucapkan oleh Hyang Prabu Tusuk Tunggal.
Yang arti Tusuk Tunggal itu tak lain dari ilmu Alip Tunggal. Aksara itulah yang paling banyak di dalam kitab suci. Aksara yang harus dipakai pada setiap pangkal ucapan, atau ayat, atau doa.
Di dalam hati aku berjanji akan memugar tempat Hyang Prabu Tusuk Tunggal yang telah mengingatkanku akan suatu kunci kecil yang melengkapi kunci besar yang kupakai.
Dialah yang dinamakan memakai ilmu Tusuk yang paling ampuh. Karena dialah yang menusuk saluran air dari gunung-gunung. Dia pulalah yang membuat terusan air di dalam guha-guha sekitar Pelabuhan Ratu.
Allah sendiri gaib tidak kelihatan oleh manusia. DIA bisa saja mempunyai pembantu-pembantu gaib terhadap peralihan alam ini. Untuk dikenal atau tidak. Terserah kepada manusia sejauhmana ia menghayati hidup di tengah alam terbentang ini. (ikut terus kisah-kisah selanjutnya/ras)