THE Killing Field, film bule buatan Rolland Jaffe lumayan bikin publik pecinta film tahun 80an merinding. Filmnya disadur dan mirip banget sama kejadian aslinya.
Piala Oscar yang didamba bintang film, seniman atau pemain seni lainnya di Amerika itu, berhasil digondol Jaffe dan sejumlah artis pendukung.
Ceritanya Jaffe itu diadaptasi dari kisah nyata rakyat Kamboja yang tertindas penguasa. Jaffe bersimpati pada rakyat Kamboja yang sudah jadi sumber bahan filmnya itu.
Boim, sineas muda kelahiran Bojong Kenyot, daerah pinggiran Betawi terinspirasi oleh kejeniusan Jaffe yang mengadaptasikan kehidupan nyata rakyat yang ditindas sampai ampas-ampasnya.
Tak perlu dana besar buat investigasi, kayak Jaffe yang observasi dan kasak-kusuk di Kamboja, anak muda yang sebenarnya diidamkan babehnya jadi penggede itu cuma keliling kampung tiap hari. Kadang-kadang ditemenin Japra ke kampung tetangga. Boim pikir keadaan Bojong Kenyot dan sekitarnya bisa mewakili kondisi negerinya yang sepertinya sudah amburadul namun tetap jadi tanah air tercintanya.
Boim pengen bikin film indie alias film independen yang bisa dikenang oleh banyak orang. Gak muluk-muluk sih.. Boim pengen kondisi beragam warga Bojong Kenyot, Bojong Rangkong, Bojong Rempong dan sekitarnya diabadikan dalam sebuah dokumentasi hidup yang syukur-syukur tak dialami anak cucunya kelak.
Ketiga kampung itu dihuni ribuan warga yang sama-sama menerima perlakuan tidak adil dari penguasa. Mereka juga bareng-bareng bersuara, berjuang melakukan revolusi damai. Keren yaa.. Revolusi damai itu sekarang lagi diusung beberapa kelompok yang kebetulan juga merasa dan merasakan ketidakadilan dari penguasa. Intinya satu, perubahan yang adil buat seluruh lapisan rakyat.
Bahan buat film Boim yang bakal dikasih judul, Tanda Koma itu tambah banyak. Hampir semua anak sekolahan di kampungnya dan juga beberapa temennya pergi ke pusat kota buat menyuarakan aspirasinya alias demo menentang kebijakan pemerintah yang rugikan rakyat. “Ini bakal jadi bumbu tambahan biar film nanti makin menarik suguhannya,” pikir Boim.
“Loh, ente gak ikut Boim, gak tertarik ikut demo? Ayo dong gabung, masa anak muda gak tergerak buat ikut aksi, ini demi kampung kita, negara kita,” tiba-tiba suara Pak Bahram ngagetin Boim. “Gak ahh, ane lagi rampungin observasi buat bikin film, ini bukan buat ane aja, ini buat kampung kita, buat negara,” kata Boim yang direspon acuh tak acuh Pak Bahram yang mantan pejabat kelurahan itu.
Buat Boim, berjuang tak hanya koar-koar. Ajak sana-ajak sini cari simpati, cari massa. Apalagi yang ngajak, bekas pejabat macam Pak Bahram. Masih nempel di memori Boim saat Pak Bahram sulit banget dimintai tolong. Satu keluarga tak mampu terpaksa hidup dari belas kasih tetangga. Maw minta kartu miskin buat berobat ngurusnya minta ampun susahnya. Nebus beras miskin juga rugi gak bisa dimakan. Pak Bahram cuek beibeh…
Mantan pejabat itu acuh pada warga, cuma peduli kalau atasannya turun kampung biar dibilang pejabat deket rakyat. Pas lepas jabatan dan tak ada lagi kerjaan, Pak Bahram punya kesibukan baru, ya itu.. Cari massa, cari simpati buat aksi tujuannya sih katanya untuk merubah kebijakan penguasa yang tak pro rakyat. Woii pakk… Kemana aja kemarin… Saat punya kuasa tak bisa lakukan apa-apa cuma sibuk ngitung berapa lembaran rupiah dan hektaran lahan yang sudah terkumpul. Banyak kok orang model Pak Bahram, jadi itu biasa. Sosok ini tentu saja akan jadi tokoh yang masuk di film Boim.
Alhasil selesailah Boim dengan invstigasinya, observasinya dan itu cukup buat jadi script alias naskah filmnya. Penguasa memaksa rakyat hidup jauh dari sederhana, dibawah kategori miskin. Bahkan penguasa berhasil menghapus hak-hak individu rakyatnya. Itu inti dari film Tanda Koma.
Boim merasa bertanggung jawab terhadap banyak jiwa rakyat yang mati karena sakit tak bisa berobat, bukan penghilangan nyawa ditembak layaknya tentara Khmer Merah pada warga Kamboja. Hanya saja penghapusan hak individu untuk mendapat pelayanan kesehatan yang memadai misalnya, kok lebih kejam dari tembak mati yaa…
Boim bertanya dihati, apa terlalu sulit buat pejabat menjaga biaya berobat puskesmas dan rummah sakit buat warga miskin. Apa tak mampu pejabat perintahkan kepala sekolah bebaskan SPP atau iuran buat anak-anak usia sekolah?
Boim jawab dihati lagi, tak ada yang sulit dan semua mampu kok, wong jadi pejabatkan wewenangnya banyak, harusnya yang sulit jadi ringan, kan? Hmmm beban kerja yang terlalu di anggap berat.
Kalau di runut, sistem demokratis yang diciptakan pejabat ngerinya, renung Boim, yakni mengedepankan pemenuhan hak rakyat. Keputusan-keputusan politiknya juga harus dilakukan oleh rakyatnya melalui wakil-wakilnya yang mereka pilih dan wakilnya bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya.
Waahh.. repot juga kalau wakil rakyatnya aja sudah bergeser dari khitah, tak bawa aspirasi rakyat. Hasilnya seperti yang terjadi di kampung Boim. Semua serba kesusahan. Kesimpulannya, semua kebijakan yang dilakukan pejabat dinegeri Boim adalah hal yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi. Namun masih banyak hal baik dan positif yang dilakukan segelintir pejabat yang masih punya dan dengarkan hati nurani, publik figur dan tokoh yang menjadi panutan, termasuk rakyat yang berjuang sendiri untuk melakukan perubahan yang baik dilingkup yang paling kecil di sekitarnya.
Boim tak berharap film Tanda Koma-nya nanti bisa dapat Piala Oscar eh Piala Citra. Dia hanya berharap Tanda Koma ditutup dengan titik akhir bahagia dari hal positif yang dibuat untuk perbaikan kualitas hidup semua rakyat, tak hanya warga Bojong Kenyot.
Boim berharap filmnya masuk katalog dan referensi dokumentasi perjuangan anak bangsa dengan caranya yang berbeda. Boim juga berharap anak-anak muda bangsa tak berharap ikut berjuang dengan mereka yang berharap bisa mengambil keuntungan dari jeritan harapan rakyat tertindas yang hanya mengharapkan harapannya jadi kenyataan.(Fenty Ruchyat)