25.8 C
New York
12/07/2025
Aktual Ekonomi

Di Ujung Tarif, Nasib Jutaan Pekerja Mebel Indonesia Bergantung

JAKARTA, PosSore — Kabut pagi masih menyelimuti Jakarta ketika para pelaku industri mebel dan kerajinan menatap kalender dengan waswas. Tanggal 9 Juli 2025 menggantung seperti pedang: Amerika Serikat akan memberlakukan kebijakan tarif baru yang menentukan masa depan ekspor senilai USD 1,33 miliar—setara dengan 54% dari total ekspor sektor ini.

Di tengah ketegangan itu, Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) bergerak cepat, menggandeng pemerintah dalam perjuangan sengit memperebutkan tarif preferensial. Pertemuan intensif dengan Ketua Umum KADIN Anindya Bakrie dan jajaran pucuk pimpinan pada Selasa pekan lalu menjadi titik awal.

Di ruang rapat ber-AC itu, komitmen untuk menyelamatkan daya saing ekspor nasional mengkristal. “Ini perjuangan kolektif,” bisik salah seorang peserta, menyadari industri yang menopang hidup lebih dari 3 juta pekerja—langsung maupun tak langsung—itu sedang di ujung tanduk.

Abdul Sobur, Ketua Umum HIMKI, duduk tegap sambil membeberkan skenario masa depan. “Tarif lebih rendah daripada Vietnam dan Malaysia bukan sekadar angka,” ujarnya dengan sorot mata yang tajam.

Peluang itu bisa mengubah peta permainan: menarik investasi global, menciptakan 5-6 juta lapangan kerja baru, dan mendorong ekspor hingga USD 6 miliar dalam lima tahun. Tapi bayang-bayang risiko juga mengintai. Jika tarif Indonesia lebih tinggi, pembeli internasional akan kabur. Momentum menjadikan Indonesia pusat produksi dunia pun menguap.

Momen ini, ia tekankan, adalah kesempatan emas. Deregulasi besar-besaran yang diusung pemerintah harus dimanfaatkan untuk membabat hambatan usaha—mulai dari birokrasi yang berbelit hingga regulasi yang ketinggalan zaman. “Kita tak bisa bekerja sendiri. Regulasi kita harus mengejar praktik terbaik negara pesaing,” seru Sobur.

Dalam langkah nyata, HIMKI menyodorkan sejumput strategi. Diplomasi tarif jadi senjata utama: Presiden Prabowo diharap menegaskan posisi Indonesia sebagai mitra strategis jangka panjang AS, dengan prinsip neraca perdagangan berkeadilan.

Reformasi ekosistem ekspor harus dilakukan, mulai dari memangkas belitan birokrasi dan hambatan teknis yang selama ini membebani arus pengiriman produk mebel dan kerajinan Indonesia ke pasar global. Intinya, HIMKI mendorong penyederhanaan tiga persoalan krusial: pembebasan Sertifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk produk hilir (sehingga tidak membebani industri olahan), mempercepat prosedur karantina yang kerap memakan waktu, serta memperbaiki layanan logistik ekspor agar lebih efisien dan murah.

Transformasi ini bukan sekadar urusan dokumen, melainkan kunci daya saing riil. Dengan ekosistem ekspor yang ramping dan responsif, ongkos produksi bisa ditekan, waktu pengiriman dipangkas, dan kepercayaan pembeli global meningkat. Efeknya berantai: industri lokal bisa fokus pada inovasi dan peningkatan kualitas—faktor penentu untuk menembus pasar baru sekaligus melindungi 3 juta lebih pekerja yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini.

Diversifikasi pasar juga mendesak diwujudkan melalui percepatan perjanjian seperti IEU–CEPA dan penetrasi ke pasar BRICS-Timur Tengah. Ekosistem ekspor perlu direformasi—mulai pembebasan SVLK untuk produk hilir, penyederhanaan karantina, hingga layanan logistik yang lebih cepat.

Tak kalah vital, insentif fiskal: pembebasan PPN ekspor, restitusi dipercepat, dan pembiayaan berbunga di bawah 6%. Sementara perlindungan pasar domestik harus diperketat sebagai benteng antisipasi jika ekspor ke AS merosot.  “Impor perlu dikendalikan agar pasar dalam negeri tak dibanjiri produk asing saat ekspor terhambat,” tegas Sobur.

Di balik semua angka dan strategi, ia mengingatkan satu hal: tarif ini menyangkut nyawa. Nasib jutaan pekerja yang mengukir kayu, merajut rotan, dan menyambung besi. “Dengan soliditas bersama,” tutupnya, dengan suara bergetar penuh keyakinan, “kita bisa pacu pertumbuhan ekonomi dua digit dan wujudkan mimpi Indonesia sebagai pusat produksi dunia.”

Langit Jakarta sore itu tak semata dihiasi gedung pencakar langit. Di balik jendela-jendela pabrik, denyut nadi industri mebel dan kerajinan terus berdetak—menanti keputusan yang akan menentukan apakah Indonesia melesat atau tertinggal dalam peta persaingan global. (aryodewo)

Leave a Comment