YOGYAKARTA (Pos Sore) — Dewasa ini semakin banyak dijumpai warga masyarakat yang sinis melecehkan kekuatan bangsa dan menjauhkan diri dari nilai-nilai Pancasila. Pendidikan Pancasila di lembaga pendidikan dianggap gagal dalam memperbaiki kondisi masyarakat. Terbukti banyak yang terjebak dalam perilaku penyimpangan dan kejahatan kerah putih. Organisasi sosial dan politik hampir tidak membicarakan aktualisasi nilai Pancasila karena politik lebih ditujukan kepada kekuasaan dan kekayaan saja.
Demikian pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono ke X saat menjadi pembicara di Kongres Pendidikan, Pengajaran & Kebudayaan II Tahun 2014 yang diselenggrakan oleh PTN/ PTS se-DI Yogyakarta di Kampus UGM, Yogyakarta, baru-baru ini.
Kongres menghadirkan sejumlah tokoh nasional, antara lain mantan Menko Kesra dan Taskin, Prof Dr Haryono Suyono, serta sejumlah tokoh lainnya itu.
Sri Sultan mengatakan banyak oknum elit yang secara sistematis menjauhkan diri dan menolak Pancasila karena sudah menganut paham asing yang dianggap lebih relevan. “Pancasila diterima hanya sebagai alat saja. Mereka memiliki sifat yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan,” ujarnya.
Gaya hidup liberal telah berkembang dan menjadi bagian hubungan sosial. Paham individualisme dan hedonisme semakin kuat dan menjadi ancaman bagi kehidupan bangsa yang berbasis spiritual dan kutural. “Ternyata di negara Pancasila juga berdiri sebuah ideologi kapitalisme liberal yang justru berseberangan dengan Pancasila itu sendiri.”
Sultan juga menyorot gaya hidup para pemimpin dan elit bangsa dewasa ini yang jarang menjadi tokoh figuratif , memberi teladan dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Ada kesenjangan moralitas dengan prilaku. Menampilkan diri sebagai sosok moralis namun menjadi pelaku korupsi uang rakyat. TindakKKN yang sejak awal reformasi harus disingkirkan, tak lagi dinyatakan sebagai sesuatu yang buruk dan kotor.
Banyak kaum elit tidak menyesal dan merasa malu akan perbuatannya. Kesemuan makna telah berkembang di berbagai lini kehidupan, bahkan kaum intelektual ikut terjebak dalam kesemuan berkomitmen terhadap kebenaran. Sejumlah profesor, doktor dan magister ikut terjebak dalam kesemuan makna dan harus mendekam di dalam penjara.
Perlu Revolusi Kultural
Menghadapi semua itu, Sultan menyatakan, kita perlu melakukan revolusi kultural untuk menghambat masuknya unsur-unsur negatif budaya global.
Di bagian lain pernyataannya, Sultan mengingatkan, di tengah arus besar budaya global dewasa ini,upaya memperkokoh sistem pendidikan nasional yang berkepribadian Pancasila tak hanya berhenti kepada makna “what is Pancasila saja” , tapi merupakan tantangan penjabarannya agar menjadi “what for” sehingga Pancasila memiliki daya guna dan nilai tambah untuk pendidikan.
Menurut Sultan, aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua hal, yaitu aktualisasi obyektif dan subyektif. Aktualisasi obyektif atau institusionalisasi ditujukan pada kelembagaan negara, seperti legislatif, ekskutif dan yudikatif. Materi aktualisasinya secara yuridis formal dikenakan pada bidang-bidang politik, ekonomi dan hukum terutama penjabarannya dalam undang-undang, haluan negara, pemerintahan, Hankam, p endidikan dan bidang- bidang lainnya.
Aktualisasi subyektif adalah, internalisasi nilai-nilai Pancasila yang ditujukan kepada perilaku setiap warga negara, agar menjadi prilaku setiap individu dalam aspek moral. Aktualisasi subyektif ditujukan kepada warga negara biasa dan aparat penyelenggara negara. Terutama para kalangan elit politik dan pemerintahan.
Aktualisasi nilai Pancasia, kata Sultan, adalah sebuah strategi budaya untuk mempertahankan eksistensi masyarakat bangsa Indonesia guna membangun budaya serta kebudayaan bangsa yang bermartabat. ‘’Jika aktualisasi nilai-niai Pacasila gagal, maka masyarakat bangsa Indonesia akan memiliki budaya baru yang justru bukan berakar pada budaya masyarakat dan bangsanya sendiri.’’ (junaedi)