17.5 C
New York
26/10/2024
Aktual Opini

Apakah Negara Butuh Organisasi Profesi?

Oleh: Zaenal Abidin

Webinar yang diselenggarakan Kang Hadi Conscience (KHC), Ahad, 26 Maret 2023, mengangkat topik; “Ada Apa di Balik Hiruk-Pikuk dan Issu Negatif Mengenai IDi Belakangan ini?” menampilkan nara sumber, Prof. dr. Zainal Muttaqin, Sp.BS, PhD. (Guru Bedar FK Undip). Setelah nara sumber memaparkan beberapa poin penting, dr. Hadi Wijaya selaku moderator kemudian mengajukan beberapa pertanyaan.

Salah satu pertanyaan yang diajukan moderator, “Apakah negara membutuhkan organisasi profesi dokter, semacam IDI?” Nara sumber kemudian menjawab bahwa setiap negara membutuhkan organisasi profesi dokter, termasuk Indonesia.

Itulah sebabnya, setiap negara mempunyai organisasi profesi dokter yang merupakan mitra dari pemerintahnya dalam menyehatkan rakyatnya. Nara sumber juga menjelaskan tujuan dibentuknya Negara Republik Indonesia sebagaimana yang tercantum di dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI.

Perlunya organisasi profesi bagi suatu negara

Sebagai salah satu penanggap yang diminta oleh KHC, penulis juga menyampaikan pendapat yang senada dengan perdapat nara sumber. Penulis mengatakan bahwa setiap negara membutuhkan organisasi profesi dokter, seperti IDI di Indonesia. Selain diperlukan untuk pembinaan dokter di negara tersebut, juga dibutuhkan untuk menjadi media berkomunikasi dan berkoordinasi antara pemerintah suatu negara dengan doker-dokter dengan berbagai keahlian di negara tersebut.

Bila tidak ada organisasi profesi yang berfungsi sebagai media perantara maka pasti pemerintah negara tersebut akan kesulitan untuk berkomunikasi dengan dokter-dokternya. Media untuk berkomunikasi itu harus tunggal agar negara tidak memperoleh informasi yang simpang siur.

Di samping itu, organisasi profesi dokter di suatu negara juga menjadi refresentasi dari seluruh dokter di negara tersebut ke dunia internasional. IDI misalnya, merupakan satu-satunya refresentasi seluruh dokter di Indonesia untuk berbicara di tingkat negara-negara Asia Tenggara (MASEAN), negara-negara Asia Oceania (CMAAO), dan dunia (WMA).

Jadi itulah alasan mengapa setiap negara sangat membutuhkan kehadiran organisasi profesi dokter. Seharusnya demikian pula dengan di Indonesia. Kembali kepada pertanyaan inti. Mengapa akhir-akhir ini Menteri Kesehatan (Menkes) terkesan memusuhi IDI? Bukankah pada awal menjabat, Menkes cukup mesra dengan IDI dan juga organisasi profesi kesehatan lain?

Pertanyaan di atas tentu sulit menjawabnya secara pasti, kecuali Menkes sendiri yang menjawabnya. Apalagi dalam catatan sejarah, sejak Indonesia Merdeka belum pernah ada Menkes yang memusuhi mitra strategisnya, seperti IDI ini.

Kalaupun terjadi silang pendapat antar Menkes dan IDI, itu soal biasa. Sebagaimana penulis sendiri ketika menjadi Ketua Umum PB IDI pernah mengalami, namun tidak pernah saling menyerang. Apalagi menuding atau memfitnah. Dan biasanya semua selesai dengan berkomunikasi atau berdialog.

Sebetulnya, cukup banyak dokter dan tenaga kesehatan yang awalnya menaruh harapan kepada Menkes kita ini. Karena latar belakangnya yang bukan dari tenaga kesehatan sehingga diharapkan dapat berpikir out of the box. Dengan cara berpikir tersebut diharapkan dapat membawa iklim segar bagi sektor kesehatan Indonesia.

Menjalin kebersamaan dan saling bahu membahu dengan seluruh organisasi profesi kesehatan, dan untuk selanjutnya saling menguatkan dalam bekomuniasi dan berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga demi menyehatkan rakyat Indonesia. Namun, sayangnya yang terjadi adalah sebaliknya.

Ada apa di balik serangan Menkes kepada IDI

Sebagian orang mengatakan bahwa serangan bertubu-tubi yang dilancarkan Menkes kepada IDI disebabkan karena pandemi Covid 19 sudah berakhir. Andai alasan tersebut benar adanya, tentu sangat naif. Sebab, bukankan Indonesia adalah gudangnya bencana? Ada juga yang mengatakan, “itu hanya pengalihan issu untuk menutupi kelemahannya.”

Pada forum lain, ada yang mengatakan bahwa serang-serangan itu dilakukan untuk memuluskan masuknya rumah sakit asing dan dokter asing bekerja di Indonesia tanpa perlu seleksi ketat melalui RUU (OBL) Kesehatan yang digagasnya. Tapi benarkah anggapan itu? Hanya Tuhan Yang Maha Mengetahui.

Terus pertanyaan berikut, memang apa kelebihan dokter asing sehingga harus dibeda-bedakan dengan kami dokter Indonesia? Apakah dokter asing dan dokter lulusan luar negeri memang dididik khusus untuk menyelesaikan seluruh masalah Indonesia?

Panjanglah diskusinya sampai kemudian pengurus kolegium memberikan penjelasan tetang portopolio dokter asing dan dokter lulusan luar negeri. Dan juga menjelaskan bahwa hampir setiap institusi pendidikan dokter di suatu negara mendidik calon dokternya sesuai kondisi kebutuhan kesehatan negaranya.

Tapi mengapa organisasi profesi, dalam hal ini IDI yang harus digebuki? tanya peserta yang lain. Menurut penulis, jawabannya cukup simpel. Karena IDI selalu menyuarakan kebenaran. IDI tidak segan-segan berbeda pendapat dengan Menkes bila keinginan dan kebijakan Menkes bila dipandang merugikan masyarakat dan merugikan pelayanan kesehatan di Indonesia.

Terkait dokter asing, sebetulnya IDI tidak juga menolak apalagi anti dokter asing dan rumah sakit asing, namun IDI ada keadilan. Apalagi migrasi dokter dari suatu negara ke negara lain hampir merupakan keniscayaan. Namun IDI ingin ada keadilan dan negara tetap memperlakukan dokter Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Kalau dokter Indonesia yang dididik di Indonesia dengan kurikulum yang ketahui, diperlaukan secara ketat, tidak boleh abal-abal, tentu dokter asing pun perlu demikian. Karena itu perlu pengaturan dan persyarakat yang lebih ketat terhadap dokter asing.

Ada pula yang bertanya, apakah IDI mampu bertahan dengan serang Menkes yang bertubi-tubi tersebut ? Pertanyaan ini tentu sangat sulit menjawabnya. Sebab, tidak ada yang tahu persis apa yang akan terjadi pada hari esok. Robert Harris menulis dalam buku ketiga dari Cicero, Dictator, bahwa “Politik tidak pernah stantis. Jika masa baik tidak langgeng, masa buruk pun tidak. Seperti alam, politik mengikuti daur pertumbuhan dan pembusukan yang kekal…”

Kalau jawaban itu akan ditarik ke dalam IDI dan profesi dokter, tentu kekuatannya adalah karena “Atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa,” sebagaimana yang tertera di dalam Mukaddimah Anggaran Dasar IDI. Kekuatan kedua adalah independensi IDI dan kekuatan ketiga adalah spirit “kesejawatan” yang mempersatukan anggotanya sebagaimana yang tercantum di dalam sumpah profesi dokter Indonesia.

Independensi dan kesejawatan yang membuat IDi tidak perlu menggatungkan diri pada pihak lain. IDI tidak pelu merengek minta biaya operasional melalui APBN dan APBD. Dan juga tidak meminta kemurahatian pemerintah. Biaya oprasional IDI cukup bersumber dari iuran, dana partisipasi anggota secara sukarela dan dari sumber lain yang halal, tidak melanggar hukum, dan tidak mengikat.

Sebenarnya, penarikan iuran dan dana partisipasi anggota itu hampir dipunyai oleh seluruh organisasi yang dibentuk oleh masyarakat. Baik organisasi paguyuban, organisasi arisan, organisasi daerah, organisasi siswa/mahasiswa, dan apalagi organisasi profesi. Dan iuran dan dana partisipasi anggora bagi organisasi tersebut merupakan urusan internal dari rumah tangga masing-masing organisasi.

Nah, mengapa organisasi profesi perlu dukungan dana? Jawabannya, karena organisasi profesi dibentuk oleh anggota untuk mengurus kepentingan anggota. Apa saja kepentingan anggota yang diurus oleh organisasi profesi? Kepentingan anggota yang harus diurus olah organisasi profesi, misalnya menyusun standar profesi, menyusun standar pelayanan profesi, menyusun standar pendidikan dan pelatihan profesi, menyusun standar etik profesi, penyusunan sumpah profesi. Juga mengevaluasi standar-standar yang telah disusunnya. Itulah tugas IDI sebagai organisasi profesi dokter Indonesia.

Di samping menyusun dan mengevaluasi standar profesi, tugas IDI yang tak kalah pentingnya adalah membimbing atau membina anggotanya agar menerapakan standar yang telah dibuatnya dan juga menaati sumpah profesinya. Tentu juga IDI diharapkan melakukan advokasi kepada pengambil kebijakan agar kebijakan yang dibuat tidak merugikan anggota IDI sebagai warga negara.

Semua tugas dan tanggung jawab IDI di atas tentu membutuhkan dana operasional. Membiaya kantor, menggaji karyawan, dan sebagainya. Dan yang pasti dana tersebut bukan diperuntukkan untuk menggaji pengurus IDI, sebab sejak berdirinya IDI, belum pernah ada pengurus yang digaji.

Catatan akhir

Walaupun IDI sudah banyak membantu pemerintah dalam pembangunan kesehatan dan melayani kesehatan masyarakat, IDI belum pernah merengek minta dana operasional kepada pemerintah. Kondisi inilah yang membuat independensi dan warwah IDI selalu terjaga.

Pendanaan IDI sangat jelas, bersumber dari iuran, dana partisipasi anggotanya sendiri, yang diputuskan melalui Muktamar IDI dan sumber lain yang halal, tidak melanggar hukum, dan tidak mengikat. Bukan dari anggota profesi lain. Karena itu, hemat penulis negara dalam hal ini Menkes pun tidak perlu sibuk mencampuri iuran anggota IDI tersebut. Terkecuali bila ada keinginan Menkes untuk mengarahkan Indonesia menjadi penganut konsep “Negara Penjaga Malam” (Machtwächterstaat).

Wallahu a’lam bishawab.

(Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015)

Leave a Comment