JAKARTA (Pos Sore) — Siapa pun tahu, Kampung Pulo, perkampungan urban di Jakarta Timur yang sangat padat. Setiap rumah di kampung ini bisa dihuni lebih dari 1 Kepala Keluarga. Dalam hunian seluas 6×4 saja, terdapat 3-4 KK yang tinggal di dalamnya. Bisa dibayangkan kepengapan di dalamnya.
Cerita ‘kekumuhan’ Kampung Pulo bukan saja karena kepadatan penduduk dan bangunannya. Kampung ini semakin terlihat kumuh ketika banjir menerjang.
Ya, setiap musim hujan, banjir kerap menenggelamkan kampung ini. Tapi jangan heran, bagi warga kampung ini banjir adalah pemandangan biasa-biasa saja. Bukan lagi hal yang aneh. Itu sebabnya, meski banjir, banyak warga yang enggan diungsikan.
Secara geografis, kampung dengan 3.809 KK tersebut dikelilingi sungai Ciliwung sepanjang kurang lebih 1,9 km. Kali membatasi antara Kampung Pulo dan Bukit Duri Tanjakan. Kampung Pulo yang posisinya di dataran rendah dan berbatasan dengan sungai Ciliwung di sekelilingnya membuat banjir menjadi bagian keseharian warganya.
Bagi mereka banjir semata kaki atau setinggi lutut, hanya dianggap genangan biasa. Baru dianggap banjir jika ketinggian air mencapai 2 meter atau lebih. Itu pun masih dianggap hal biasa.
Bisa jadi karena banjir sudah dianggap biasa ini, maka hunian-hunian di Kampung Pulo sebagian besar terdiri dari 2-3 lantai. Hunian sempit yang diperluas ke atas. Lantai 2 dan 3 biasanya dijadikan tempat ‘mengungsi’ sementara saat banjir melanda. Lantai 1 dibiarkan kosong melompong.
Kampung Pulo yang padat penduduk dan langganan banjir ini, juga tidak memiliki akses air bersih. Tak ada tempat pembuangan sampah. Sanitasi pun buruk. Sebagian besar hunian di sini tidak memiliki sarana MCK (mandi-cuci-kakus) sendiri. Warga memenuhi kebutuhan MCK ya ke MCK umum.
Kalau dalam keadaan antri, warga tak malu-malu melakukannya di sungai Ciliwung yang airnya tidak bersih lagi. Air sungai Ciliwung yang berwarna coklat dan kotor itu digunakan untuk mandi, mencuci pakaian, mencuci bahan makanan, buang ‘hajat’, bahkan tak jarang untuk mengambil air wudhu!
“Ya mau bagaimana lagi. Kalau MCK umum kan antri, jam 10 malam tutup. Jadi warga di sini larinya ke sungai Ciliwung,” kata Lisdaningsih, warga Kampung Pulo yang sudah menetap sedari bayi hingga kini berusia 45 tahun, saat ditemui di PAUD Bina Melati, jalan Jatinegara Barat, Kampung Pulo Rt 11/02, Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Warga bukannya tak mau pindah ke tempat yang layak. Bukan juga menolak direlokasi. Selagi warga mendapatkan nilai ganti rugi yang sesuai, mengapa tidak. Warga bersikukuh, tanah yang ditempati bukanlah tanah negara. Melainkan tanah yang diwariskan secara turun temurun.
“Kami dibilang penghuni liar. Dari segi apa? Kita punya KTP, e-KTP malah, bayar PBB juga, ada PAM, PLN. Kalau dibilang penghuni liar kenapa caleg-caleg suka blusukan ke sini. Kalau ini tanah negara kenapa bukan dari dulu-dulu dipersoalkan,” tukas Lisda yang juga relawan Kelompok Swadaya Masyarakat Kp Melayu.
Jika ditanya surat kepemilikan tanah, ya ia mengakui sulit untuk mengurus sertifikat tanah. Pihak kelurahan pun sepertinya enggan meneruskan permohonan warga ke Dinas Pertanahan. Untuk mendapatkan IMB juga terasa sulit. Jadilah kesepakatan transaksi jual beli tanah dan pembangunan hunian hanya dengan pihak kelurahan.
Namun warga menyadari penyempitan dan pendangkalan sungai Ciliwung karena ulah warga sendiri. Banyak warga yang mematok bibir sungai untuk membangun hunian. Pun tercemarnya sungai Ciliwung akibat perilaku warga yang membuang sampah sembarangan. Meski awal tercemarnya sungai Ciliwung karena kehadiran pabrik yang membuang limbah ke sungai Ciliwung.
“Dulu, waktu saya masih kecil, sekitar tahun 1990an kali Ciliwung masih bersih, masih bisa buat mandi, mencuci beras. Banyak pohon. Ada jambu, belimbing, mangga. Lalu pada tahun 1991, 1992 kali mulai tercemar karena airnya mulai keruh akibat pabrik di Kalibata yang membuang limbahnya ke kali. Sekitar tahun 2007, air sumur ikut tercemar, airnya kotor dan bau. Air juga kadang berminyak,” paparnya.
Ketua RT 11, Asep, menambahkan, warganya sebenarnya ingin hidup lebih baik. Namun, warga tidak yakin apakah tinggal di rusunawa akan menyelesaikan masalah atau jangan-jangan malah menambah masalah baru. Terlebih di rusunawa harus bayar sewa.
Menurutnya, tinggal di Kampung Pulo terasa nyaman. Rasa sosial, gotong royong, kebersamaan cukup tinggi. Jika ada warga yang terkena musibah warga akan memberikan bantuan, meski yang terkena musibah itu pendatang baru. Selain itu, akses transportasi mudah dan pemenuhan kebutuhan pangan lebih terjangkau.
“Kalau dipindah ke rusun yang tinggi-tinggi seperti di Rusun Jatinegara Barat yang baru itu, memang bisa seperti tinggal di apartemen, tapi kan harus sewa. Kami mana cocok tinggal di bangunan yang ke mana-mana harus naik lift,” tutur Asep yang sudah tinggal di Kampung Pulo selama 57 tahun.
Karenanya, jika pemerintah ingin merelokasi warga, sosialisasi harus tuntas. Harus juga melibatkan warga sehingga semua warga paham. Bukan hanya kepada camat dan lurah semata, yang belum tentu penyampaiannya sama.
Menyadari hal ini, LKM Ciliwung Berseri yang berlokasi di jalan Jatinegara Barat, Kampung Pulo Rt 11/02, Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur, melakukan edukasi. Terutama terkait bagaimana menjaga lingkungan hidup tidak tercemar. Bagaimana juga memilah sampah kering dan sampah basah. Pun bagaimana mengolah sampah menjadi sesuatu yang bernilai tambah.
Targetnya terjadi perubahan sikap dan perilaku masyarakat untuk hidup bersih, sehat dan produktif. Selanjutnya, program pencapaian target 100% akses air minum layak, 0% kawasan kumuh dan 100% akses sanitasi layak di wilayah itu.
Hal itu sejalan dengan ‘Program Prakarsa Permukiman 100-0-100’ yang dicanangkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ini adalah program pengembangan permukiman berkelanjutan, dengan mencapai 100% akses air minum, mengurangi kawasan kumuh hingga 0%, dan 100% akses sanitasi untuk masyarakat Indonesia.
Program tersebut sebagai upaya penanggulangan kemiskinan dengan pola pemberdayaan masyarakat melalui PNPM MPk (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan), yang pada 2015 berubah menjadi Program Peningkatan Kualitas Permukiman (P2KP).
Dirjen Cipta Karya DR. Ir. Andreas Suhono, M.Sc menyebut program tersebut sejalan juga dengan UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Penyelenggaraan kawasan permukiman dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Daerah, dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.
“Permukiman yang berkelanjutan pada hakekatnya adalah merupakan visi yang perlu diupayakan secara bersama,” jelasnya usai acara pembukaan Lokakarya Sosialisasi P2KP Provinsi DKI Jakarta, belum lama ini.
Wagub DKI Jakarta Djarot Saefullah dalam lokakarya yang sama, juga menginstruksikan kepada semua lurah untuk mendata ulang kawasan kumuh di kelurahan masing-masing.
Walikota Jakarta timur 2015 juga memprioritaskan penanganan kepadatan penduduk melalui perbaikan, penataan kampung dan lingkungan kumuh. (tety)



