Kinoy Jackson yang bernama asli Dwi Suharto, merupakan salah satu korban tsunami yang selamat setelah hempasan gelombang melanda Banten — termasuk Resort Tanjung Lesung — 22 Desember 2018 lalu. Mantan wartawan Harian Terbit (lama) dan masih satu keluarga dengan Possore itu menuliskan pengalamannya .
Possore.com — Saya tak menyangka ombak yang malam itu sangat indah, bergulung-gulung dari jauh, ternyata membawa malapetaka bagi kami yang tengah menikmati acara bagi-bagi door prize PP-ITKON Kemenpora. 5 orang dari kami meninggal dunia, semuanya perempuan.
Sabtu, 22 Desember lalu, sekitar 56 karyawan Kemenpora mengikuti Training Motivasion di Tanjung Lesung. Suasana ceria kami rasakan dari pagi hari (out bound), sore hari (naik banana boat dan jetksi), malam hari (hiburan debus api, organ tunggal, dan bagi-bagi door prize). Pokoknya hari itu, kami benar-benar gembira.
Kegembiraan terganggu ketika acara bagi-bagi door prize terhenti, gara-gara listrik di restoran yang kami pakai sebagai tempat acara, mati mendadak. Kami semua berteriak, terutama buat kami yang belum mendapat door prize.
Entah beberapa menit, saya yang berdiri di bagian belakang restoran ditegur oleh teman saya (ternyata Adi Kurniadi). Saya disuruh lari. Padahal saat itu, saya yang dalam kondisi ngantuk berat, melihat ombak sangat indah (mungkin karena saya sangat ngantuk, malam sebelumnya hanya tidur sekitar 1 jam, selain gangguan nyamuk, suasana dingin membuat saya bolak-balik buang air kecil ke toilet yang jauhnya sekitar 100 meter dari tenda, sekitar 7 kali).
Saya pun ikut berlari. Tapi saya tak tahu apa yang terjadi. Baru saja melangkah sekitar 2 sampai tiga meter, ombak yang semula jaraknya sekitar 200 meter – 300 meter telah menghantam dari belakang.
Saya kaget dan takut luar biasa. Rasa kantuk hilang seketika, berganti menjadi ketakutan luar biasa. Dalam hati saya bilang, “Ini kah yang namanya tsunami? Saya pasti mati.”
Saya tak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Anehnya, masih ada ketenangan saat dihantam dan diseret tsunami ke berbagai arah. Saya tak tahu apa yang terjadi dengan badan saya. Saya hanya tak mau mati, saya masih ingin hidup, saya ingat punya istri, dua orang anak, dan keluarga.
Di tengah rasa ketakutan yang begitu dahsyat, saya mengadu ke Sang Pencipta. “Ya Tuhan, selama ini Saya selalu berusaha berbuat baik kepada semua orang. Apakah umur saya hanya sampai di sini?”
Jawaban Sang Pencipta luar biasa. Baru selesai saya memohon, tiba-tiba ada benda mendekati ke tangan saya. Reflek saya tangkap benda itu erat-erat. Meskipun kondisi gelap gulita, hanya mengandalkan sinar bulan, saya tahu kalau benda itu adalah meja kecil segi empat.
Berhasil menguasai meja di pelukan, badan saya langsung terangkat ke permukaan air. Saya pun seperti berselancar di atas tusnami dengan mengandalkan meja kecil itu. Saya hanya mengikuti ombak liar tsunami, saya tak tahu mau dibawa kemana.
Saat berselancar itulah, saya mendengar teriakan seorang lelaki sangat keras tak jauh dari saya yang memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk tak diambil nyawanya.
“Ya Allah, jangan ambil nyawa saya. Anak saya dua orang, masih kecil.”
Teriakan itu terus dilontarkan dari mulutnya dengan nada ketakutan.
Entah berapa lama saya terombang-ambing di gulung ombak di atas resort Tanjung Lesung, meja kecil yang saya pegang kuat-kuat, berhenti karena menabrak sebuah pohon, sekitar 20 meter dari bibir pantai. Seandainya tak ada pohon itu, mungkin saya akan terlempar ke laut lepas.
Teman Patah-Patah
Meskipun sudah terdampar di pohon, saya tak berani beranjak. Saya bahkan sempat marah, kerena ada orang yang naik ke pohon dengan menginjak meja kecil yang saya jadikan tumpuan hidup. Saat itu saya mulai merasakan sakit di sekujur badan dan kaki saya sangat sakit, sulit untik berjalan.
“Wooooii, turun. Gw tenggelem nih,” teriak saya kepada laki-laki itu.
Bukannya turun, dia terus menginjak meja tersebut untuk naik ke pohon.
Mungkin karena mendengar suara saya yang marah, ada beberapa teman Kemenpora berteriak minta tolong. “Bang, Bang Kinoy, Dina bang. Bang Kinoy, Yuli bang.”
Saya yang tak bisa banyak bergerak, berusaha menolong mereka satu per satu. Pakaian yang dikenakan Dina (cantik, bertumbuh gemuk) sudah tak lengkap. Auratnya bagian bawah tak bisa ditutupi karena pakaiannya sobek-sobek.
Air tingginya memang tinggal seleher. Namun adanya gas bocor dari tabung gas restoran, jaraknya hanya tiga meter, membuat kami ingin segera menjauhi tempat itu.
Setelah air laut kembali ke pantai, ombak masih kencang, kami berusaha mencari tempat perlindungan. Beruntung, sekitar 10 meter di depan, ada bangunan vila berlantai dua yang kosong namun kondisnya dindingnya sudah jebol di hantam ombak.
Kalau untuk naik ke atas, biar kaki harus diseret karena menahan sakit, rasanya bukan pekerjaan sulit. Namun ada dua teman Kemenpora, Alhadi dan Yudi yang sangat butuh pertolongan. Keduanya patah kaki sehingga tak bisa melangkah.
Saya mencoba menarik Alhadi yang badannya terhalang sampah kayu, tapi saya tak mampu. Saya jatuh lagi ke genangan air yang masih sebetis. Alhadi akhirnya meminta saya mengambil jerigen air 20 liter untuk dijadikan topangan tubuhnya untuk sampai ke vila.
Begitu juga dengan Yudi. Istrinya terus berteriak minta tolong. Dia mengatakan suaminya tak bisa jalan karena patah kaki. Istrinya juga meneriakan nama anaknya, Rahma, yang terpisah (Rahma akhirnya ditemukan telah meninggal dunia).
Sambil tertatih-tatih, kadang jatuh, saya mencoba menarik Yudi mendekati vila. Saat itu saya menarik Yudi dengan menarik kerah pakaiannya, sementara wajah Yudi menghadap ke air.
Mayat Bergeletakan
Bersama belasan orang, sebagian besar karyawan Kemenpora, kami berlindung di lantai dua vila tersebut. Ada yang membaca ayat-ayat suci Al-Quran, ada yang menangis, ada yang berteriak memanggil nama anaknya (istri Yudi), saya berulang kali berteriak minta tolong ketika melihat ada beberapa orang mendekati vila dengan membawa senter.
Namun teriakan kami tak direspon. Mereka terus berputar-putar di area resort yang telah hancur dan masih digenangi air.
Setelah hampir satu jam berada di vila, saya mencoba mencari pertolongan. Rasa sakit di kaki kiri, berusaha saya lupakan dulu. Saya pamit ke teman-teman. Saya minta mereka memberi tahu bila melihat ombak tinggi lagi.
Teman-teman ternyata tak mau ditinggal. Mereka akhirnya turun mengikuti saya mencari tempat yang aman. Kami pun menelusuri jalan gelap, tergenang air, dan bau gas yang masih menyengat karena bocorannya belum berhenti.
Baru berjalan beberapa puluh meter, saya diberhentikan oleh beberapa laki-laki. Mereka meminta kami melihat sesosok mayat yang ditemukan tergeletak di tanah. Saya pun melihat mayat tersebut, awalnya saya menduga itu Rahma, namun saya sangat yakin mayat itu bukan Rahma. Kami pun terus menelurusi jalan licin, sampai akhirnya sampai di jalan raya.
Alhamdulilah kami selamat. Namun kami harus mencari bantuan untuk meminta perawatan. Kami pun meminta bantuan dengan menyetop kendaraan yang lewat. Mirisnya, pengendara yang lewat tak tahu kalau kami baru saja dilanda tsunami.
Saya bersama Sherli, salah satu karyawan Kemenpora berusia 27 tahun sangat beruntung. Kami ditolong dibawa ke Puskesmas Cigeulis, Pandeglang. Saya tak menyangka kalau di dalam mobil mewah itu ada Ivan Seventeen yang sedang mencari istri dan teman-temannya yang belum ditemukan. Dari keterangan Bayu, karyawan Resort Tanjung Lesung, dia bersama Ivan terapung-apung di laut selama dua jam.
Pasien Kepala Bolong
Saya sempat mendapat perawatan di Puskesmas Cigeulis. Saya ditangani baik. Begitu sampai, saya langsung diobati, dikasih baju ganti karena baju saya basah dan rusak, dan dikasih obat. Ternyata saya mengalami banyak luka, terutama di kaki. Cedera saya yang parah adalah luka lebam dari betis hingga paha (baru saya ketahui setelah di Jakarta).
Karena pasien yang datang ke puskemas banyak yang lebih parah, seperti kepala bolong, telinga sobek, patah tulang, dll, saya pun menginap di salah satu rumah penduduk, Dede Rohani. Selam menunggu kepulangan ke Jakarta, 23 Desember malam, saya ditangani baik oleh keluarga Dede.
Setelah di Jakarta, saya mendapat kabar belasan teman Kemenpora dirawat di berbagai rumah sakit di Jakarta. Edi Nurindra, Kepala PP ITKON dirawat di RSON Cibubur karena luka retak di bahu, sementara dua orang anaknya di rawat di RS Islam Jakarta Timur.
Edi Kurniadi yang menyelamatkan saya dari terjangan tsunami dirawat di RS Koja Jakarta Timur karena retak di tangan kanan, kepala bocor, dan luka-luka di sekujur tubuh.
Sementara itu, selain Rahma, empat teman Kemenpora yang meninggal dunia adalah Ibu Helena, Umi, Titik, dan Betty.
Khusus Betty, dia teman baik saya. Sore hari sebelum tsunami melanda, saya puas bercanda dengan dia di pantai Tanjung Lesung. Betty yang tak bisa berenang, berulang kali saya sirami wajahnya dengan air laut. Selamat jalan Betty. (kinoy jackson/ tulisan ini sudah dimuat di DEKANDIDAT.COM)