15/10/2025
AktualPendidikan

Transformasi Ilmu dan Akhlak: Seruan dari Mimbar Wisuda ke-25 IAN Bekasi

POSSORE, Bekasi — Selasa siang (16/9) yang teduh kemarin, Aula Islamic Center dipenuhi wajah-wajah penuh harap. Senyum para wisudawan Institut Attaqwa KH Noer Alie berbaur dengan doa orang tua yang duduk di belakang barisan. Rasa syukur terasa hangat, apalagi tokoh-tokoh penting tampak hadir: perwakilan Walikota Bekasi, Ketua Umum Yayasan Attaqwa, Koordinator Kopertais Wilayah II Jawa Barat, hingga pejabat dari Kementerian Agama RI.

Rektor IAN Bekasi Dr Saiful Bhri Maih memberikan cinderamata kepada Dr Khaerul Umam Noer

Di tengah suasana khidmat, sebuah kisah sederhana tentang seorang penjaga surau membuka orasi ilmiah Dr. Khaerul Umam Noer, Associate Profesor bidang gender dan kebijakan publik Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Dengan nada bertutur, Umam menghadirkan cerita yang menggelitik hati. Tentang seorang penjaga surau yang hidupnya monoton—hanya beribadah, tapi lupa pada keluarga yang menanggung lapar. Tentang Haji Saleh yang di akhirat justru dimintai pertanggungjawaban karena membiarkan anak cucunya melarat, sementara hartanya dimanfaatkan orang lain.

“Banyak orang rajin beribadah,” kata Umam, “tapi lupa memaknai ibadah itu sendiri.” Kritiknya jelas: ibadah bukan semata ritual pribadi, melainkan juga tanggung jawab sosial. Kebaikan harus hadir dalam kesejahteraan keluarga, kepedulian pada sesama, dan keberanian menjawab penderitaan orang lain.

Dari kisah penjaga surau, Umam menautkan gagasannya pada dunia pendidikan tinggi. Menurutnya, pendidikan seharusnya melahirkan manusia paripurna—sebagaimana wasiat KH Noer Alie, sang ulama pejuang sekaligus kakeknya: menjadi orang yang benar, pintar, dan terampil.

Anggota Senat Institut Attakwa KH Noer Alie Bekasi pada acara Wisuda Sarjana ke 25

Namun realitas hari ini, katanya, jauh dari cita-cita itu. Perguruan tinggi di Indonesia kian terjebak dalam pusaran administratif, ranking, dan komersialisasi. Biaya kuliah melambung, program studi terindustrialisasi, sementara tridharma perguruan tinggi kehilangan ruhnya sebagai instrumen moral dan sosial.

“Perguruan tinggi, kini lebih sibuk mencetak tenaga kerja teknis, bukan manusia berkarakter,” ujarnya tegas. Akibatnya, pendidikan justru memperlebar jurang ketimpangan, memperkuat individualisme, dan kehilangan fungsi transformasinya bagi bangsa.

Dalam orasinya, Umam menyerukan perlunya revitalisasi tridharma perguruan tinggi—pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat—agar kembali berjiwa moral dan sosial. Kampus, menurutnya, harus berani menyalakan obor kemanusiaan, mengintegrasikan ilmu dengan akhlak, serta melahirkan generasi yang peduli pada keadilan dan penderitaan rakyat.

“Lulusan perguruan tinggi tidak boleh hanya cerdas secara teknis, tetapi harus punya kepekaan sosial dan visi kebangsaan,” tegasnya.

Menuju Khoiru Ummah

Di akhir pidatonya, Umam mengaitkan cita-cita itu dengan teologi Khoiru Ummah yang menjadi ruh Yayasan Attaqwa: membentuk manusia beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Kampus, baginya, adalah kawah candradimuka yang harus melahirkan generasi Khoiru Ummah—mereka yang ilmunya menjadi cahaya, imannya menjadi arah, dan pengabdiannya menjadi jembatan antara langit dan bumi, bangsa dan kemanusiaan.

Suasana wisuda pun seakan menemukan denyut baru. Pesan sederhana dari seorang penjaga surau, dikaitkan dengan krisis pendidikan tinggi, bermuara pada satu seruan: ilmu tanpa akhlak hanyalah kering kerontang. Maka pendidikan, pada akhirnya, harus membentuk manusia yang bukan sekadar pintar, tapi juga bermartabat.

Sebelum orasi ilmiah dimulai, Rektor IAN, Dr. Saiful Bahri Maih, memberikan sambutan penuh makna. Ia mengingatkan para wisudawan untuk tidak berhenti menuntut ilmu, sebab perjalanan intelektual sejatinya tidak pernah selesai. “Wisuda bukan akhir, melainkan pintu awal menuju proses belajar seumur hidup,” ujarnya.

Sambutan berikutnya disampaikan  Ketua Umum Yayasan Attaqwa, KH. Dr. Irfan Mas’ud, Lc, MA. Ia menekankan bahwa perguruan tinggi bukan hanya tempat membangun tradisi intelektual, tetapi pengelola kampus juga harus mampu menyediakan sarana dan prasarana yang layak bagi mahasiswa dan tenaga pengajarnya.

Giliran Koordinator Kopertais Wilayah II Jawa Barat, yang juga Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, memberi pandangan realistis. Ia menyebut jumlah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) di Jawa Barat kini terus menyusut—dari ratusan yang ada, banyak yang tidak mampu bertahan karena kekurangan mahasiswa atau program pendidikannya tidak berkembang. Namun di tengah kondisi itu, Institut Attaqwa tetap konsisten berdiri. “Saya biasanya menghadiri wisuda di perguruan tinggi cukup sekali saja. Tapi di IAN Bekasi, saya sudah tiga kali diundang, dan hadir,” katanya memberi apresiasi. (aryodewo)

 

 

Leave a Comment