JAKARTA (Pos Sore) — Skizofrenia, salah satu penyakit jiwa terberat. Sebanyak 10 persen orang yang menderita penyakit ini berakhir dengan bunuh diri. Gejala pertama biasanya muncul pada masa remaja atau dewasa muda. Meski ada juga yang baru muncul pada orang berusia di atas 40 tahun.
Prevalensi skizofrenia di Indonesia diprediksi akan bertambah. Jika ODS tidak mencapai recovery maka akan sangat membebani penderita, keluarga, dan masyarakat karena menunda waktu mereka untuk kembali produktif di masyarakat. Karenanya, penanganan masalah kejiwaan ini perlu intervensi berbagai pihak, baik dari asosiasi profesi, masyarakat, hingga pemerintah.
“Ini harus menjadi perhatian serius mengingat gangguan jiwa ini kerap muncul di usia produktif, yaitu 15-25 tahun sehingga perlu mengenali gejala serta terapi sedini mungkin agar dapat meningkatkan probabilitas pemulihan sempurna. Konsep recovery saat ini masih dianggap terlalu jauh, padahal sangat diperlukan untuk kehidupan orang dengan skizofrenia atau ODS dalam jangka panjang,” kata Ketua Seksi Skizofrenia Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Dr. A A. Ayu Agung Kusumawardhani, SpKJ (K).
Ia memaparkan hal itu dalam bincang-bincang memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) ‘Living with Schizophrenia’, di Jakarta, Selasa (9/9). Bincang-bincang ini sendiri untuk meningkatkan awareness pentingnya terapi dini yang tepat bagi ODS. Selain itu, mengajak masyarakat dunia memberikan dukungan dan menerima ODS kembali aktif dan produktif di tengah masyarakat. Terlebih gejala psikotik awal skizofrenia dapat menyebabkan ODS kesulitan berinteraksi dan menarik diri dari aktivitas sehari-hari dan dunia luar.
Sementara itu, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Dr. Eka Viora, SpKJ, menambahkan, berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi gangguan jiwa berat (termasuk skizofrenia) 1,7 permil atau 1-2 orang dari 1000 warga di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat. Dari jumlah tersebut, sebagian besar belum berinisiatif atau berkesempatan mendapatkan pengobatan yang tepat. Ini yang membuat ODS masih sulit diterima kembali di masyarakat.
“Diharapkan dengan disahkannya UU Kesehatan Jiwa penanganan gangguan kejiwaan terutama skizofrenia lebih komprehensif dan terintegrasi, mulai edukasi, terap, dan dukungan psikologi bagi ODS agar dapat produktif kembali di masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), Bagus Utomo, menandaskan, komitmmen pemerintah dan asosiasi profesi dalam meningkatkan kualitas ODS paska terapi memberikan dorongan kepada komunitas untuk semakin aktif mendampingi ODS dan keluarnya. “Kami menyampaikan apresiasi setinggi mungkin atas upaya berbagai pihak untuk memfasilitasi kami dalam mengedukasi ODS dan keluarga melalui Lighting The Hope for Schizophrenia,” katanya. (tety)