POSSORE.ID, Sukoharjo – Di sela suara jangkrik dan semilir angin pagi Desa Trangsan, Sukoharjo, seorang pria paruh baya tampak sibuk mengamati anyaman rotan yang baru keluar dari gudangnya. Tangannya menyentuh satu per satu serat rotan seolah sedang membaca kisah hidup yang tersimpan di dalamnya.
Supriyadi tak pernah benar-benar jauh dari rotan. Ia lahir, tumbuh, dan dewasa di tengah keluarga pengrajin. Sejak kecil, aroma rotan kering dan suara ketukan palu kayu sudah akrab di telinganya. “Saya ini besar di antara rotan,” ujarnya pelan, mengenang masa kecilnya di rumah sang ayah yang juga seorang tukang rotan.
Sebagian besar produk mebel dan kerajinan rotan hasil karyanya dikirim dalam bentuk knock-down—dibongkar terlebih dahulu untuk memudahkan pengemasan dan pengiriman. Untuk sistem knock down dan full set up ini sebenarnya tergantung pesanan karena kita memproduksinya atas base on order. Ini merupakan bagian dari strategi ekspor yang ia pelajari secara otodidak, termasuk pemahaman tentang tren desain hingga standar kualitas yang disyaratkan pasar mancanegara.
“Orang luar suka rotan karena ramah lingkungan, kuat, dan bisa dibentuk jadi furnitur yang estetik,” jelasnya. Dalam setiap produknya, Supriyadi menyisipkan nilai-nilai kearifan lokal yang berpadu dengan sentuhan modernitas, menjadikan rotan bukan sekadar kerajinan, tapi warisan budaya yang hidup.
Kini, Supriyadi tak berjalan sendiri. Ia bersama staf yg membantu dan fokus pada koresponden dg buyer, sementara dirinya fokus pada pengembangan usaha, inovasi, desain produk dan kestabilan kualitas. Dalam menjalankan usahanya, Supriyadi juga menjadikan tempat usahanya sebagai ruang belajar bagi generasi muda. Kombinasi generasi tua dan muda ini membuat bisnisnya tetap relevan di tengah cepatnya perubahan tren pasar global.
Rotan dari Trangsan bukan barang baru bagi dunia. Namun, bagi Supriyadi, mempertahankan kualitas dan karakter khas anyaman lokal adalah pekerjaan yang tak bisa ditawar. Ia percaya, keaslian adalah kekuatan. Maka setiap kursi, meja, atau rak yang keluar dari pabriknya harus memiliki ‘jiwa’—bukan sekadar barang untuk dijual.
Program pendampingan dari HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia), telah banyak membantunya memahami berbagai kebijakan industri, peluang pameran, hingga selera pasar internasional. “Dari awal berdiri kami langsung kirim ke buyer/pembeli dan tidak pernah lewat pengepul, bisa ekspor langsung. Itu karena kami terus belajar,” kata Supriyadi, tersenyum bangga.
Kecintaan Supriyadi pada rotan itu mengantarkannya mendirikan usaha sendiri pada tahun 1996, setelah sebelumnya bekerja di perusahaan rotan besar seperti PT Sarana Alam dan CV Jacoindo.
Produk rotan hasil karya Supriyadi telah menembus berbagai negara di dunia. Dari Amerika Serikat, Swedia, Perancis, Australia, hingga Chili, mebel rotan dari Sukoharjo terbukti mampu bersaing di pasar global.
“Pelanggan kami menyukai produk karena kualitas yang stabil dan desain yang khas,” jelas Supriyadi. Ia bahkan merancang sebagian besar desain produknya sendiri, meski di awal sempat bekerja sama dengan desainer luar negeri.
Ke depan, ia ingin tempat usahanya bisa berkembang menjadi pusat pelatihan anyaman rotan. Tak hanya menghidupi keluarga, tapi juga menjadi tumpuan masa depan bagi warga sekitarnya. “Kalau rotan ini bisa bertahan, berarti desa ini juga bisa hidup terus,” ucapnya dalam sebuah percakapan dengan POSSORE.ID, pekan lalu.
Menjalankan bisnis mebel rotan tak selalu mulus. Supriyadi sempat terpuruk akibat krisis ekonomi global pada awal 2000-an, tepatnya saat krisis subprime mortgage melanda Amerika. “Mulai terdampak tahun 2003, dan benar-benar jatuh pada 2005,” kenangnya. Namun ia kembali bangkit di tahun 2008 dan stabil hingga 2019, sebelum dihantam pandemi Covid-19.
Minim Dukungan Pemerintah
Soal bahan baku, Supriyadi mengaku tidak pernah mengalami kendala serius karena adanya relasi baik dengan para pemasok. Namun hal berbeda dirasakannya soal kebijakan pemerintah. “Industri rotan ini padat karya, menyerap banyak tenaga kerja terampil. Tapi sampai sekarang belum ada insentif khusus,” ujarnya.
Menurutnya, 85 persen cadangan rotan dunia ada di Indonesia. Namun sayangnya, rotan Indonesia kalah pamor karena minim promosi. “Rotan bisa jadi ikon Indonesia, seperti halnya kayu jati atau CPO yang dikenal di seluruh dunia. Tapi rotan tidak pernah benar-benar dipromosikan secara nasional maupun internasional,” tegasnya.
Tantangan lain yang makin terasa adalah minimnya regenerasi. Banyak pengrajin rotan kini berusia lanjut dan anak-anak mereka memilih profesi lain. “Kalau tidak ada perhatian khusus, industri ini bisa tinggal kenangan,” ucapnya prihatin.
Supriyadi menekankan pentingnya peran asosiasi dalam menyuarakan kebutuhan industri ke pemerintah. Sebagai Dewan Pembina DPP HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia), ia berharap asosiasi bisa menjadi jembatan antara pelaku usaha dan regulator. “Asosiasi harus kuat, aktif menyampaikan aspirasi, agar pemerintah tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan industri ini,” ujarnya.
Kepada sesama pelaku industri, Supriyadi menyarankan untuk terus berinovasi dan menjaga kualitas produk. “Industri mebel rotan tidak bisa hanya mengandalkan tradisi. Harus ada pembaruan desain, efisiensi produksi, dan harga yang kompetitif,” ujarnya.
Meskipun industri rotan Indonesia menghadapi banyak tantangan, Supriyadi masih optimistis. Dengan promosi yang tepat, dukungan pemerintah, dan sinergi antarpelaku usaha, ia percaya produk mebel dan kerajinan rotan Indonesia bisa kembali berjaya di pasar dunia. (aryodewo)
