JAKARTA (Pos Sore) — Terlahir cacat bukan pilihan hidup. Tak ada satu orangpun yang ingin terlahir dalam kondisi fisik yang berbeda dengan yang lainnya. Ini satu kenyataan yang harus dijalani dengan penuh kesabaran. Baik bagi individu penyandang disabilitas maupun keluarganya.
Selain harus menerima stigma negatif dari masyarakat, juga harus berjuang mendapatkan pekerjaan sebagai bentuk pengakuan atas kemampuan dirinya. Tunanetra bekerja di perusahaan? Inilah tantangan yang selalu dihadapi orang yang berkebutuhan khusus seperti penyandang tunanetra meski memiliki skill yang memadai.
Fien Adriani, misalnya, yang terlahir dalam keadaan tidak bisa melihat. Perjuangan untuk menunjukkan kemampuaannya membuahkan hasil. Ia bekerja di Standard Chartered Bank Indonesia sejak Juni 2008. Ia menjadi karyawan tuna netra pertama yang bekerja di Standchart sebagai Help desk CRES Team.
Fien yang bersuamikan penyandang tunanetra ini ternyata menguasai bahasa Inggris, Jerman, dan Mandarin. Kemampuannya ini diperolehnya saat mengenyam pendidikan di Institut Bahasa Asing di Bandung, Jawa Barat, jurusan Sastra Jerman. Setelah lulus, ia memberikan kursus privat mengajar bahasa Inggris dan Jerman. Salah satu siswanya, isteri dari Aa Gym, seorang guru spiritual.
Sebelum bergabung dengan Standard Chartered Bank Indonesia, Fien bekerja sebagai Operator sekaligus sebagai Customer Service di perusahaan Tours & Travel dan berlanjut menjadi Senior Secretary di perusahaan induknya.
“Kami telah memperkerjakan tujuh penyandang tunanetra sebagai bentuk dukungan kesetaraan hak mendapatkan pekerjaan bagi penyandang tunanetra. Ini merefleksikan prinsip Diversity & Inclusion yang dimiliki Bank kami,” kata Wanda Harahap, Head of Public Affairs Corporate Affairs Standard Chartered Bank di sela Musyawarah Nasional VIII Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) di Jakarta, Rabu (27/8).
Pihaknya, katanya, memberikan kesempatan yang sama untuk setiap orang. Merupakan hal yang sangat penting membuat setiap karyawan merasa dihargai dan dihormati seperti apa adanya diri mereka dan untuk hal-hal yang mereka dedikasikan kepada perusahaan tanpa membedakan jenis kelamin atau perbedaan lainnya.
“Kami juga menyediakan ATM khusus bagi tunanetra, yang kami namakan layanan Talking ATM. Sama seperti ATM lainnya. Terdapat huruf di papan tombol, mesin dan layar, namun dilengkapi mesin audio dan headphone. Huruf dan angka di papan tombol ATM tercetak tebal alias braille,” paparnya.
Dalam audio tersebut akan memberi informasi kepada pengguna ATM, layaknya layar pada ATM biasa. Informasi dalam audio itu memandu pengguna mulai dari memasukkan kartu ATM hingga selesai bertransaksi. Mereka dapat memanfaatkan fasilitas yang tersedia di antaranya cek saldo, penarikan tunai dan perubahan PIN kartu ATM.
Pengguna dengan mudah dapat mengakses melakukan transaksi lewat Talking ATM. Layanan yang dapat diakses selama 24 jam ini tersedia dua pilihan bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
”Selama ini banyak penderita tuna netra ditolak perbankan ketika akan membuka rekening dan ingin memiliki kartu ATM. Untuk itu, kami berupaya merangkul masyarakat yang memiliki gangguan penglihatan dengan layanan Talking ATM ini,” tambahnya.
Sejak diluncurkan pada 2 November 2011 lalu, tercatat sudah ada enam mesin ATM yang tersebar di Jakarta, Surabaya, Semarang dan Bandung. Keberhasilan Talking ATM Standard Chartered Bank ini berhasil tercatat di Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri).
Talking ATM ini menjadikan Indonesia sebagai negara pertama dalam jaringan grup Standard Chartered Bank di wilayah Asia Tenggara yang mempergunakan teknologi audio. Selain Indonesia, ATM itu juga diluncurkan di Korea, India, Uni Emirat Arab, dan China. (tety)