Oleh: Maghfur Ghazali
MENJELANG awal tahun ajaran baru, beberapa gedung kampus mulai kembali hidup. Spanduk promosi diganti dengan wajah-wajah mahasiswa baru, brosur pendaftaran diperbarui, dan iklan digital dipacu di media sosial. Tapi di beberapa kampus swasta, suasana itu tak seramai biasanya. Jumlah pendaftar belum mencukupi. Meja pendaftaran masih lengang. Panitia PMB lebih banyak menunggu daripada melayani. Di balik senyum para staf kampus yang tampak ramah, ada kecemasan yang tak diucapkan.
Di balik masalah ini, sebetulnya ada hal lain yang lebih sunyi namun lebih mendasar: sistem akademik yang tak pernah benar-benar dibangun. Padahal, di era digital saat ini, sistem informasi akademik (SIAKAD) semestinya bukan barang mewah. Ia adalah syarat minimal untuk bisa dipercaya sebagai institusi pendidikan tinggi yang modern. Tapi kenyataannya, banyak kampus swasta masih enggan benar-benar membangunnya.
Ada yang punya sistem, tapi tak pernah dipakai. Ada pula yang masih bertahan pada spreadsheet dan map kertas. Ironisnya, dalam laporan akreditasi atau proposal hibah, sistem itu selalu disebut lengkap: dari presensi daring, e-learning, hingga validasi skripsi online. Semua tampak hebat di atas kertas. Tapi celakanya, mahasiswa tetap mengisi KRS secara manual, dan dosen harus mencari nilai di map-map kusut.
Jean Baudrillard dalam bukunya Simulacra and Simulation pernah menyatakan bahwa dalam dunia modern, kenyataan bisa digantikan sepenuhnya oleh citra. Bahkan, masyarakat bisa lebih percaya pada citra ketimbang realitas itu sendiri. Dunia kampus pun kini tak luput dari jebakan itu.
Kampus tak benar-benar punya sistem akademik, tapi menampilkan diri seolah sudah digital, modern, dan transparan. Inilah bentuk simulacra: tiruan yang berdiri sendiri, tanpa referensi nyata.
Kekacauan Menjadi Keuntungan
Mengapa kampus swasta tertentu menolak sistem yang rapi dan transparan? Mungkin jawabannya bukan karena tak mampu, tapi karena mereka sudah terlalu nyaman dengan “ketidakberesan”.
Dalam sistem manual dan tidak terdokumentasi dengan baik, konflik bisa dinegosiasikan. Nilai bisa dibicarakan. Kehadiran bisa diatur. Status mahasiswa bisa ditentukan secara subjektif. Semua keputusan bisa fleksibel karena tidak ada sistem yang memaksa transparansi. Chaos menjadi alat kelola, bukan ancaman.
Dengan tidak adanya SIAKAD yang kuat, pengelolaan konflik bisa diatur secara menguntungkan. Mahasiswa yang bermasalah bisa “diperbaiki” nilainya asal membayar denda atau menjalin relasi baik dengan pihak administrasi. Proses bimbingan skripsi bisa dilonggarkan tanpa jejak, dan siapa pun bisa ikut wisuda, asal ikut arus.
Padahal, SIAKAD bukan hanya sistem administrasi. Ia adalah aset institusi. Dengan sistem informasi akademik yang andal: Data akademik akan terdokumentasi secara rapi dan valid. Konflik nilai, status studi, dan progres mahasiswa bisa dicegah sejak awal. Bahakan mahasiswa memiliki kendali atas proses akademiknya sendiri, karena semuanya terekam.
Selain itu, kepercayaan masyarakat pun akan meningkat, karena akuntabilitas menjadi nyata. Akreditasi bisa lebih mudah dipenuhi, karena semua bukti proses akademik terdokumentasi digital. Bahkan, data ini bisa menjadi sumber pengambilan kebijakan internal yang akurat dan cepat.
Lebih dari itu, SIAKAD adalah simbol keseriusan kampus. Bukan hanya dalam hal layanan, tapi dalam memegang prinsip kebenaran akademik. Namun, selagi kampus lebih memilih untuk memoles citra ketimbang membangun sistem, maka kampus itu akan tetap hidup dalam dunia simulasi. Dunia di mana brosur lebih penting daripada silabus, dan akun media sosial kampus lebih aktif daripada laman sistem akademik.
Kampus menjadi panggung. Para mahasiswa menjadi aktor yang diminta tampil sesuai peran. Proses belajar digantikan oleh rutinitas administratif. Dan semua orang berpura-pura: seolah-olah belajar, seolah-olah lulus, seolah-olah kampus sedang berkembang.
Seperti kata Baudrillard, simulacra tak sekadar meniru kenyataan—ia menghapus kenyataan. Dalam kampus simulasi, yang penting bukan lagi ilmu, tapi tampilan bahwa ilmu sedang ditransfer. Bukan kejelasan sistem, tapi kenyamanan fleksibilitas.
Kini, tahun ajaran baru tinggal hitungan minggu. Mahasiswa yang datang tak hanya membawa harapan, tapi juga hak untuk memperoleh pendidikan yang jujur dan transparan. Kampus swasta yang ingin bertahan dan tumbuh tak bisa lagi hanya menjual janji. Sudah waktunya meninggalkan dunia simulasi dan membangun yang nyata.
SIAKAD bukan sekadar sistem. Ia adalah janji kampus kepada mahasiswanya, bahwa mereka belajar dalam sistem yang adil, bisa dipercaya, dan bertanggung jawab. Jika janji itu ditepati, bukan tak mungkin—di tahun-tahun ajaran berikutnya—mahasiswa datang bukan karena brosur, tapi karena keyakinan: bahwa di kampus ini, ilmu masih sungguh-sungguh hidup. [*]
(Penulis adalah Dosen Pogram Studi KPI, Instutut Attaqwa K.H. Noer Alie, Bekasi)
