JAKARTA (Pos Sore) — Sidang hari kedua sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Pemilu Presiden 2014 yang digelar Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (8/8) ditunda sampai tiga kali. Skors terakhir diambil Ketua MK yang juga Ketua Majelis, Hamdan Zoelva, menjelang maghrib sekitar pkl 17.45 dan dijadwalkan dimulailagi sekitar pkl19.00.
Sidang di MK ini bersamaan dengan dimulainya sidang pelanggaran Kode Etik yang ditangani Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). DKPP menggelar sidang perdana dugaan pelanggaran kode etik terhadap KPU dan Bawaslu terkait Pilpres 2014. Namun sidang ini ditunda hingga Senin (11/8) depan.
Selain Ketua KPU Husni Kamil Manik, sejumlah Ketua KPU Daerah DKI Jakarta juga dilaporkan.
Dalam catatan Pos Sore, jalannya sidang hari kedua di MK yang dimulai sejak pkl 09.00 WIB itu akan mendengarkan 25 saksi yang dihadirkan memberi keterangan. Sejauh ini, beberapa saksi yang didengar keterangannya sempat tidak memuaskan hakim konstitusi dan tidak dapat menunjuk bukti-bukti konkret.
Menurut Maqdir Ismail dari Tim Prabowo – Hatta, saksi yang dibawanya dalam persidangan hanya gugup sehingga tak bisa memberikan keterangan dengan baik. Ini diutarakanMaqdir untuk menyanggah pernyataan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menilai, saksi yang dihadirkan oleh kubu Prabowo-Hatta main-main dalam memberikan keterangannya.
”Saya kira begini, orang bersaksi di hadapan persidangan yang luar biasa cukup banyak orangnya, mereka grogi. Saya yakin betul kami telah bicara dengan mereka sebelumnya” jelas Maqdir di Gedung MK, Jakarta, Jumat (8/8/2014).
Di dalam sidang kedua ini, selain meminta agar MK memerintahkan pihak Termohon (KPU) mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut dua (Jokowi-JK), Tim Kuasa Hukum Praha menyatakan, bahwa penetapan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilpres 2014 tidak sah menurut hukum.
Alasannya, suara Jokowi-JK diperoleh melalui cara-cara yang melawan hukum atau setidak-tidaknya disertai dengan tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh KPU.
Selain itu Tim Hukum Praha juga mendalilkan bahwa Pilpres 2014 cacat hukum karena berbagai alasan. Salah satunya adalah perbedaan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) faktual sebagaimana hasil rekapitulasi KPU pada 22 Juli 2014 dengan SK KPU No 477/Kpts/KPU/13 Juni 2014.
Tim hukum Praha juga merinci pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan KPU danjajarannya. Antara lain, melanggar UU Nomor 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Peraturan KPU Nomor 5, Nomor 18, Nomor 19, dan Nomor 20, serta Peraturan KPU Nomor 21/2014 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil Serta Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Tim Prabowo-Hatta meminta MK menyatakan batal dan tidak sah keputusan KPU Nomor 535/Kpts/KPU/2014 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014.
Setelah itu, Prabowo-Hatta meminta MK menyatakan perolehan suara yang benar adalah yang dicantumkan dalam berkas gugatan, yakni pasangan Prabowo-Hatta dengan 67.139.153 suara dan pasangan Jokowi-JK dengan dengan 66.435.124 suara.
Kuasa Hukum KPU sendiri, Adnan Buyung Nasution menilai, permohonan tim Praha yang meminta MK membatalkan keputusan KPU mengenai rekapitulasi penghitungan suara tak masuk akal,karena tidak disertai bukti-bukti yang konkret.
Buyung merinci, permohonan yang disampaikan Prabowo-Hatta itu tidak jelas, kabur atau disebut obscuur libel. Dengan alasan ini, Buyung menegaskan pihaknya punya hak meminta MK menolak semua permohonan yang disampaikan tim Prabowo-Hatta. (lya)