JAKARTA (Pos Sore) — Nasib suatu negara tergantung pada sumberdaya manusia yang tentunya memiliki pendidikan dan kesehatan yang sangat baik. Indonesia sendiri dibandingkan negara-negara lain, berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tidak termasuk dalam ranking yang tertinggi.
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, mengkhawatirkan jika keadaan itu dibiarkan, akibatnya total productivity factor (TPF) menjadi menurun. Indonesia pun akan mengalami proses deindustrialisasi.
Menurut Ponco, yang juga Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), untuk mencegah hal tersebut, maka membangun sumberdaya manusia terutama dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, tidak seharusnya hanya bersumber pada ketersediaan anggaran belanjanya semata.
“Perlu adanya relevansi yang diberikan pada bidang pendidikan dan kesehatan ini oleh negara atau pemerintah secara menyeluruh. Pembangunan pendidikan dan kesehatan saja, tanpa arah dan tanpa dikaitkan dengan keseluruhan kebijakan nasional, tidak akan dapat mendukung pencapaian tujuan nasional,” tandasnya.
Ia mengemukakan hal tersebut dalam Diskusi Panel Serial (DPS) 2017 – 2018 dengan tema ‘ATHG dari dalam Negeri’ (Sumber Daya Manusia), di Jakarta, Sabtu (3/3). Hadir sebagai narasumber dalam DPS Seri ke-10 ini, Dr. Bambang Pharmasetiawan, Prof.Dr. Hasbullah Thabrany, MpH. PH, dan Dr. Pattiselanno Roberth Johan , MARS. Diskusi dimoderatori oleh Prof. Dr. La Ode Kamaludin.
“Dan membangun bidang pendidikan dan kesehatan bukan sekedar pembangunan sektoral sebagaimana yang telah dilaksanakan hingga saat ini, namun sebagai bentuk melaksanakan dua dari empat tugas konstitusional Pemerintah Negara,” lanjut Pontjo yang juga Ketua Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI Polri (FKPPI) ini.
Sementara itu, praktisi pendidikan Bambang Pharmasetiawan, menyatakan kesalahan pemerintah dalam membangun bidang pendidikan mengalami sindrom bangsa terjajah. Sebut saja pendirian sekolah yang berbau asing dengan nama Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Internasional (SBI).
Menurutnya, sindrom ini menyebabkan ada anggapan orang asing selalu diasumsikan pasti benar dan pintar. Untuk menghilangkan sindrom ini bangsa Indonesia perlu menanamkan nilai kebangsaan dan budaya unggul dalam pendidikan bangsa.
“Penanaman nilai kebangsaan dan budaya unggul, akan mampu menanamkan karakter bangsa, sehingga sindrom bangsa terjajah akan segera dihilangkan,” tandasnya.
Di tempat yang sama, praktisi kesehatan Hasbullah Thabrany menyatakan SDM Indonesia saat ini sangat kurang beruntung. Terbukti ranking IQ Indonesia berada di urutan no 20 dunia. Semua itu terjadi, katanya, karena investasi kesehatan Indonesia sangat rendah. Padahal generasi emas bangsa ditentukan oleh pengaruh gizi dan kesehatan ibu, bayi, serta anaknya.
“Di Amerika pemerintah memiliki kebijakan Food Stamp, penduduk miskin, ibu hamil dan anak mendapat kupon makanan, yang dapat diambil di supermarket berupa daging, ayam, ikan, susu, jus dan sebagainya,” terangnya.
Sementara itu, lanjutnya, di Jerman ada jaminan sosial keluarga agar semua anak bergizi cukup. Kebijakan ini seharusnya dapat diterapkan di Indonesia agar pemenuhan gizi yang cukup untuk ibu dan anaknya dapat terpenuhi, agar sumber daya manusia dapat menghasilkan generasi emasnya.
Menurut Dr. Pattiselanno Roberth Johan , MARS, di Indonesia terjadi perubahan beban penyakit yang menimpa sumberdaya manusianya. Pada 1990, penyakit menular seperti ISPA, TB, diare menjadi sebab kematian dan kesakitan terbesar. Namun, sejak tahun 2010, penyakit tidak menular menjadi penyebab terbesar kematian dan kecacatan, seperti stroke, kecelakaan, jantung, kanker dan diabetes.
“Tingginya penyakit tidak menular ini menyebabkan kesehatan mental spiritual sosial sumberdaya manusia menjadi terganggu. Sebagai akibatnya masalah psikososial meningkat. Untuk mengatasi hasil tersebut maka diperlukan pembangunan ketahanan keluarga sebagai masyarakat terkecil serta dengan membangun kecerdasan spiritual,” tandasnya.
Menurutnya, sumberdaya manusia yang mampu menghadirkan ketahanan nasional baru akan terwujud jika memiliki kesehatan mental spiritual sosial masyarakat yang diwujudkan melalui keluarga yang berkualitas. “Dan untuk mencapainya diperlukan kerjasama menyeluruh antara pemerintah, institusi pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan masyarakat,” kata Pattiselanno. (tety)