Pembantu Rumah Tangga Yang Siap Ditempatkan
ASISTEN RUMAH TANGGA (ART) atau yang lazim disebut dengan Pembantu Rumah Tangga (PRT) adalah sebuah profesi yang banyak digeluti oleh perempuan-perempuan desa dengan tingkat pendidikan yang rata-rata rendah sementara di satu sisi mereka dituntut untuk mampu menghasilkan rupiah guna membantu suami yang terkadang pula bekerja serabutan.
Pengertian ART atau yang pada zaman penjajahan sering dipanggil dengan sebutan Jongos. Jongos memiliki tugas yang sangat luas mulai dari menyiapkan rumah hingga cuci pakaian dan masak. Sebutan ini kemudian berubah seiring berjalannya waktu dengan sebutan Babu.
Babu dipakai untuk menyebut pekerja domestik perempuan dan beragam jenisnya, seperti babu cuci yang memiliki tugas mencuci pakaian, babu dalam yang membersihkan ruangan di dalam rumah, dan babu tetek yang menyusui anak.
Sedangkan istilah jongos beralih fungsi penggunaannya. Jongos menjadi sebutan untuk pekerja domestik laki-laki.
Kata jongos berasal dari Bahasa Belanda jongens yang berarti anak laki-laki. Istilah serupa juga digunakan orang Melayu yang menyebut budak untuk anak laki-laki juga untuk pembantu laki-laki.
Ada pula yang menyebut pekerja rumah tangga dengan sebutan bedinde.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bedinde secara harfiah berarti orang gajian yang kerjanya membantu mengurus rumah tangga atau pembantu rumah tangga atau pelayan.
Karena dianggap merendahkan, istilah babu dan jongos tergantikan dengan kata pembantu dan selanjutnya disingkat pembantu rumah tangga (PRT) yang kemudian beruah menjadi asisten rumah tangga (ART) yang dipakai untuk menyebut istilah pembantu atau pekerja rumah tangga.
Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi memberikan perhatian khusus kepada profesi yang satu ini dengan merancang sebuah Undang Undang Perlindungan yang diharapkan mampu melindungi para pembantu rumah tangga atau asisten rumah tangga pekerja.
Ironinya undang-undang yang diharapkan terlahir sebagai payung hukum bagi para PRT atau ART mangkrak selama 19 Tahun, meskipun Presiden Joko Widodo berkali kali mendesak DPR untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
Betapa tidak, sejak diusulkan pada tahun 2004, (PPRT) tak kunjung disahkan oleh DPR RI. Selama 19 tahun aturan tersebut hanya bolak-balik masuk program legislasi nasional (prolegnas) tanpa tahu kapan akan disahkan.
Padahal dalam RUU PPRT itu tercakup jaminan sosial dan kesehatan bagi pekerja rumah tangga. Juga besar gaji dan sanksi yang bakal diterima pengguna tenaga PRT yang melanggar.
Saat ini rambu-rambu yang digunakan untuk melindungi pekerja rumah tangga hanya tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Terasa asturan ini terasa sudah tidak memiliki kekuatan lagi, untuk itu diangkat lebih tinggi menjadi undang-undang.
Pertanyaannya, mengapa RRU yang begitu penting mangkrak selama 19 tahun lebih ? Ketua DPR RI Puan Maharani menjelaskan alasan mengapa pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Rumah Tangga (RUU PPRT) tertunda.
Puan mengatakan ada mekanisme dalam pembentukan perundang-undangan yang harus dipenuhi. Dia juga menyinggung bahwa pembentukan undang-undang tak hanya melibatkan pemerintah, melainkan juga elemen masyarakat.
Bisa jadi karena naskah akademik belum dibahas bersama-sama antara legislatif, eksekutif dan elemen masyarakat karena hal ini adalah kepastian dalam pembahasan sebuah RUU sehingga menjadi UU yang berkualitas, bermanfaat dan tidak menimbulkan polemik
Di satu sisi, DPR sebagai eksekutor pembuatan sebuah UU belum secara serius mengulik masukan masyarakat untuk dijadikan sebagai bahan inisiasi DPR.
Apakah karena UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga ini tidak memiliki sumber dana yang cukup gede sebagaimana disebutkan Puan Maharani pembuatan sebuah UU membutuhkan KOMITMEN tertentu ?
Padahal jika dilihat isi positif yang sementara itu tertuang dalam rancangan undang undang sangat memberikan perlindungan maksimal, selain jaminan kesehatan dan sosial, RUU PPRT juga menekankan kejelasan kontrak kerja antara PRT dengan pemberi kerja.
Hal ini bisa memberikan perlindungan hukum kepada pembantu rumah tangga yang menurut data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), ada sekitar 2.637 kasus kekerasan terhadap PRT sepanjang tahun 2017-2022.
Tak akan ada lagi eksploitasi pekerja rumah tangga yang harus bekerja terkadang lebih dari 10-15 jam sehari dan tak mengenal hari libur atau cuti.
Pemerintah berkomitmen dan berupaya keras untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga, dengan mempercepat penetapan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
Presiden Jokowi berharap segera RUU PPRT diundangkan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik kepada PRT yang jumlahnya diperkirakan mencapai 6 juta jiwa di Indonesia dengan prosentasi sekitar 84 persen di antaranya perempuan dan sekitar 20 persen berumur di bawah 18 tahun.
Berbagai pelanggaran hak PRT bisa diminimalisir misalnya dalam bentuk kekerasan yang sering terjadi seperti penganiayaan, dan pembatasan gerak serta bentuk intimidasi lainnya sxeperti penghinaan serta diskriminasi terhadap gaji.
Beberapa kendala dalam pembahasan tentang RUU PPRT yang sudah dimulai sejak 19 tahun silam. Yaitu masih adanya perbedaan pendapat yang cukup tajam – khususnya yang mencakup kepentingan tenaga pembantu rumah tangga dan para majikan.
Problematik sosiologis masih mewarnai latar belakang sulitnya membuat aturan main yang jelas antara pekerja rumah tangga dan majikan.
Sebagian besar dari mereka adalah masih terikat dalam tali kekerabatan, sehingga para pekerja rumah tangga seolah menjadi bagian dari anggota keluarga tetapi memiliki beban kerja dan tanggung jawab yang besar untuk membenahi urusan rumah tangga. Namun biang keladinya adalah kemiskinan. (**)