05/11/2025
AktualEkonomi

Roy Anugerah & Basuki Lacasa Art Gallery: Merawat Warisan Motif Majapahit di Era Global

MALANG, PosSore — Di tengah senja yang tiba-tiba mengingatkan Kota Malang, Roy Anugerah duduk di antara kayu-kayu jati berukir yang menjadi saksi bisu perjuangannya. Baru saja ia melepas jabatannya sebagai dosen di Universitas Wisnuwardhana Malang (Unidha) pada Februari 2025 lalu, untuk sepenuhnya menghidupkan kembali bisnis warisan keluarga: Basuki Lacasa Art Gallery.

“Saya ingin fokus mengembalikan 65 karyawan kami yang sempat terpaksa diliburkan selama pandemi. Saat ini, 15-20 orang sudah kembali bekerja. Target akhir tahun, minimal 40 orang akan bergabung lagi,” ujarnya dengan tekad yang memutuskan seperti kayu jati yang diukirnya.

Berbasis di Singosari, Malang—kawasan yang sarat jejak sejarah Kerajaan Singosari dan Majapahit—Basuki Lacasa Art Gallery telah menjadi ikon furnitur dan kerajinan kayu ukir bermotif warisan sejak tahun 1990. Nama galeri ini terinspirasi dari pesanan pertama yang diterima sang ayah, Basuki, dari Pulau La Casa di Spanyol. La casa berarti ‘rumah’ dalam bahasa Spanyol. Ini simbol bahwa karya kami adalah rumah bagi kreativitas keluarga,” jelas Roy, yang kini memegang kendali bisnis tersebut.

Roy Anugerah, diantara karya-karyanya

Dengan izin usaha seperti SIUP, TDP, dan NPWP, perusahaan perseorangan ini memadukan seni ukir tradisional dengan kebutuhan modern. Koleksinya meliputi relief dinding, patung anatomi hewan (kuda, rajawali, singa), gebyok ukir, hingga furnitur custom berbahan kayu jati.

“Kekuatan kami ada pada motif Majapahit-Singosari yang tak ditemukan di Jepara, Jogja, atau Bali. Setiap produk kami adalah cerita yang terukir,” ungkap Roy, yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Promosi Dalam Negeri Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI).

Ketika Karya Seni Menghadapi Ujian Zaman

Sebelum pandemi, Roy mengekspor produknya ke Inggris, Malaysia, dan Kolombia. Namun, sejak tahun 2019, permintaan global melemah. “Pembeli dari Amerika dan Eropa masih menahan diri. Bahkan pameran furnitur di Jogja pun sepi pembeli,” kisahnya. Dampaknya, dari 65 perajin, hanya 4 orang yang tersisa di masa pandemi. Tapi Roy tak menyerah. Ia tetap memberikan THR dua kali Lebaran kepada karyawan yang diliburkan, sekaligus mendorong mereka membuka usaha kecil.

Konsistensi pada desain menjadi senjata utama. “Saya tidak ikut tren yang berubah-ubah. Di setiap pameran, pembeli langsung mengenali produk kami dari motif dan anatomi hewan yang detail,” tuturnya.

Strategi ini terbukti efektif: meskipun terhambatnya ekspor, permintaan domestik dan pesanan custom tetap mengalir. Kini, dengan 15-20 karyawan yang kembali bekerja, Roy optimis galerinya akan bangkit. “Alhamdulillah, sejak fokus penuh ke bisnis, justru banyak tawaran jadi dosen tamu dan proyek konstruksi bermunculan,” tambahnya.

Kisah Basuki Lacasa Art Gallery tak lepas dari perjalanan sang ayah. Di era transmigrasi 1980-an, Basuki belajar mengukir dari masyarakat Dayak di Kalimantan. Keterampilan itu dibawanya pulang ke Malang, lalu dikembangkan menjadi bisnis setelah mendapat pesanan 100 set meja-kursi dari Ketua Persatuan Penggemar Bonsai Indonesia (PPBI).

Sebagai dosen, Roy sempat membagi waktu antara mengajar dan mengelola galeri. Namun, panggilan untuk menghidupkan kembali karya seni warisan leluhur membuatnya memilih mengundurkan diri. “Saya ingin membuktikan bahwa desain Indonesia bisa bersaing tanpa kehilangan identitas. Sekali dilihat, orang harus tahu itu produk asli sini,” tegasnya.

Dalam kapasitasnya di HIMKI, Roy kerap menekankan pentingnya mempertahankan ciri khas lokal. “Jangan mengambil tren sesaat. Meski produkmu modern, selipkanlah ornamen yang mencerminkan Indonesia,” pesannya. Baginya, seni ukir bukan sekedar komoditas, melainkan medium pelestarian budaya.

Kini, di workshop Basuki Lacasa Art Gallery yang mulai ramai kembali, suara pahat menyayat kayu jati seolah menjadi melodi harapan. Roy bertekad menjadikan tahun 2025 ini sebagai tahun kebangkitan. “Target kami tidak hanya memulihkan bisnis, tapi juga mengembalikan kebanggaan pada karya seni Indonesia,” tandasnya. Di tangan, motif Majapahit bukan hanya ukiran di kayu—tapi juga ukiran di jalan sejarah yang terus ditelusuri dengan gigih. (aryodewo)

Leave a Comment