05/11/2025
AktualEkonomi

Rotan Tak Pernah Berpaling: Umar Tarip dan Asa dari Tanah Sasak

POSSORE.ID, Lombok Tengah — Di sebuah sudut tenang Lombok Tengah, tepatnya di sebuah workshop yang tidak terlalu mencolok, tangan-tangan terampil sibuk menenun rotan menjadi karya seni bernilai ekspor. Aroma alami serat ketak dan rotan menguar, membungkus udara dengan kesan nostalgia dan ketekunan. Di sanalah Umar Tarip, 56 tahun, membuktikan bahwa akar budaya bisa tumbuh ke pasar dunia—asal terus dirawat dengan semangat dan strategi.

“Usaha tidak menghianati hasil,” katanya mantap. Ia bukan sekadar pengusaha lokal. Anggota DPRD ini kini menjabat sebagai Manajer di Lombok Bagus Art Shop dan juga Ketua Dewan Pembina DPD (Himpunan Industri Mebel dan Kerajikan Indonesia (HIMKI) NTB. Di balik wajah ramahnya dan hobi bersosialisasi yang lekat, tersimpan visi besar: mengangkat kerajinan rotan Lombok agar tak lagi jadi bayang-bayang Bali.

Produk rotan Lombok yang ia usahakan, terutama jenis ketak, sudah dikenal luas sejak pertengahan 1990-an. “Sebenarnya sudah dari tahun 95-an, rotan kita ini sudah mendunia,” ujarnya bangga. Tapi, ironisnya, nama Lombok nyaris tak pernah muncul dalam narasi pasar internasional. Produk-produk itu keburu dicap sebagai buatan daerah lain, di seberang sana.

Umar menjelaskan bahwa kendala utama bukan pada kualitas produk, tapi infrastruktur logistik. “Di NTB ini belum ada kargo langsung. Otomatis kita tidak bisa mandiri,” katanya. Tak heran bila branding kerajinan pun ikut bergeser, seolah berasal dari daerah lain selain Lombok.

Padahal, dari segi bahan dan keunikan, rotan ketak dari Lombok punya daya pikat tersendiri. Dulu, ketika Umar masih remaja, tamu-tamu asing dari Amerika, Australia, dan Jepang berburu benda-benda kerajinan antik dari Lombok—alat masak, tempat sirih, bahkan keris tua. Ketika benda-benda antik itu habis, para pengrajin tak tinggal diam. Mereka mulai berinovasi. Bentuk-bentuk klasik itu dimodifikasi menjadi desain baru yang relevan di pasar luar negeri, namun tetap menjaga nuansa budaya. Kini, Umar dan rekan-rekan pengrajin telah punya jejaring pembeli dari berbagai belahan dunia.

“Sebenarnya rotan kita ini nggak perlu dipromosi lagi. Dunia sudah tahu. Tapi ya itu, karena kargo masih harus lewat wilayah lain akhirnya Lombok selalu tertinggal dalam panggung utama,” katanya pelan.

Dukungan pemerintah daerah? Sudah ada, katanya, terutama dalam hal permodalan. “Kalau untuk pinjam-meminjam ke bank, kita nggak kesulitan,” katanya. Tapi yang lebih penting, menurutnya, adalah keberpihakan kebijakan infrastruktur industri—terutama agar Lombok punya fasilitas ekspor mandiri.

Sebagai anggota dewan, Umar kini mencoba mendorong perubahan itu dari dalam sistem. Ia menyadari betul, PAD Lombok Tengah hanya sekitar 471 miliar rupiah. “Saya tahu kondisi kita masih jauh tertinggal. Tapi bukan berarti tidak bisa mengejar,” ujarnya dengan nada optimistis.

Lombok punya segalanya: budaya, keterampilan, dan pasar. Yang kurang tinggal satu: pengakuan. Dan untuk itu, Umar Tarip tak akan berhenti bersuara. Umar Tarip mungkin bukan nama besar. Tapi dari workshopnya di Tanah Sasak, ia sedang menuliskan sejarah—bahwa rotan tak pernah berpaling dari mereka yang setia merawatnya.
Di tengah pusaran modernitas dan gempuran produk massal, Umar Tarip justru bersikeras mempertahankan akar tradisi. “Saya tidak pernah tertarik berpindah usaha,” katanya. “Sekali rotan, tetap rotan.” Prinsip itulah yang membuatnya bertahan lebih dari dua dekade dalam dunia kerajinan rotan, meski pasar kadang naik-turun. “Bagi saya ini bukan hanya bisnis. Ini warisan budaya.”

Sebagai Ketua Dewan Pembina DPD HIMKI NTB, Umar tahu betul tantangan di balik meja rapat dan lantai produksi. Ia terus mendorong agar para pelaku usaha kecil mendapat pelatihan desain dan manajemen. “Kita ini hebat di produksi, tapi sering tertinggal di pengemasan dan branding,” jelasnya. Ia pun menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga pelatihan dan universitas, agar regenerasi pengrajin bisa berjalan seiring dengan kebutuhan zaman.

Umar juga memprioritaskan pendekatan edukatif kepada pengrajin muda. “Banyak anak muda malu kerja rotan, dianggap kuno,” ujarnya. Maka ia pun menciptakan ruang workshop terbuka yang bisa dikunjungi pelajar dan mahasiswa. Ia ingin mengubah persepsi: bahwa rotan bukan sekadar anyaman, tetapi simbol ketekunan dan kebanggaan lokal. “Kalau kita tak jaga budaya kita, siapa lagi?” tegasnya.

Teknologi pun mulai ia sentuh. “Sekarang sudah harus main Instagram, marketplace, bahkan ekspor digital,” ungkapnya sambil tertawa kecil. Ia mengakui bahwa dunia digital adalah peluang sekaligus tantangan. Maka ia melibatkan anak-anak muda di desanya untuk belajar foto produk, membuat konten, hingga belajar cara berjualan online. “Mereka ini cepat belajarnya. Saya tinggal kasih semangat.”

Kini, Umar Tarip tak hanya dikenal sebagai pengrajin senior, tapi juga mentor yang membentuk ekosistem pengrajin Lombok Tengah. Ia percaya bahwa kemajuan industri rotan bukan hanya soal jumlah produk yang dijual, tetapi juga soal seberapa banyak nilai budaya yang bisa diwariskan. “Saya ingin anak-anak kita bisa bilang dengan bangga: ini buatan Lombok.” (aryodewo)

Leave a Comment