Oleh: Zaenal Abidin
Ahad, 29 Januari 2023, pukul 18.35 – 22.00 WIB berlangsung webinar IDI Wilayah Riau, yang dihadiri hampir seribu peserta. Webinar ini dimaksudkan untuk memperbincangkan kewenangan IDI mengeluarkan rekomendasi izin praktik, sekaligus merespon adanya anggapan sebagian orang bahwa syarat rekomendasi tersebut menjadi sebab terjadinya maladistribusi dokter.
Webinar menjadi meriah dan disambut gembira para pengurus IDI sebab diawali dengan sambutan Menteri Kesehatan dan dihadiri pula beberapa petinggi kementerian. Namun kebembiraan itu berubah karena esoknya muncul berita di health.detik.com, berjudul: Menkes Buka-bukaan soal Izin Praktik Dokter, ‘Setoran’ hingga Abuse of Power.
Pernyataan Menteri Kesehatan yang bernada tuduhan tersebut tentu sangat disayangkan sebab akan makin memperburuk hubungan Menteri Kesehatan dan organisasi profesi. Dan tentu juga sangat tidak menguntungkan bagi bangsa dan negara. Apalagi tidak sempat terklarifikasi, sebab setelah memberi sambutan Menteri Kesehatan langsung meninggalkan forum.
Rekomendasi izin praktik
“Kisah Sebuah Rekomendasi” salah satu judul artikel yang ada di dalam buku “Dari Halal-Haramnya Rokok hingga Hukum Kebiri” karya Dr. Kartono Mohamad. Menurut Dr. Kartono, ketika SK Menkes No. 561 Tahun 1981 yang mengharuskan dokter yang hendak berpraktik swasta untuk meminta rekomendasi IDI, segera IDI menyadari makna wewenang tersebut. Musyawarah Kerja (Muker) IDI 1981 di Pelembang kemudian menyusun petunjuk tentang cara pemberian rekomendasi tersebut.
Petunujuknya tidak panjang, hanya menyatakan bahwa rekomendasi diberikan kepada dokter yang meminta, tanpa melihat apakah dokter tersebut telah menjadi anggota IDI atau belum. Hanya saja dokter yang meminta harus menunjukkan kesungguhan untuk menjaga perilaku dan kemampuan profesinya. Ini juga berarti Pengurus Cabang IDI tidak turut campur dalam masalah penempatan, lokasi tempat praktik, dan asal-muasal dokter yang meminta, demi menghindari kemungkinan pilih kasih (like and dislike).
Ketika itu diberlakukan tata cara administrasi yang berbeda bagi dokter yang belum menjadi anggota IDI dan yang sudah anggota IDI. Bagi dokter yang belum menjadi anggota IDI dan ingin berpraktik diperlukan referensi dari dua atau tiga dokter anggota IDI. Untuk diketahui, sejak awal IDI sangat sadar bahwa masalah penempatan, penugasan, dan izin praktik adalah tugas dan wewenang pemerintah.
Dari pihak pemerintah pun juga sangat sadar akan tugas dan wewenangnya. Namun, ia amat membutuhkan bantuan IDI untuk menilai perilaku dan kemampuan profesi dokter serta memantaunya. Memantau perilaku dinilai dengan pengawasan etik oleh MKEK. Sedang untuk kemampuan profesi dinilai dengan pemberian Satuan Kredit Partisipasi (SKP) dalam program Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (CME).
Muker IDI di Pelembang itu juga telah mensyaratkan bahwa untuk dapat memperpanjang rekomendasi izin praktik, seorang dokter wajib mengikuti dua kali kegiatan penyegaran ilmu. Tahun 1986 barulah disusun tata cara penilaian melalui sistem akredisi. PB IDI juga membentuk Panitia Tetap Akredisi untuk menilai kegiatan ilmiah, tanpa honorarium atau uang rapat.
Belakangan, karena makin banyaknya jumlah dokter maka IDI Cabang pun membuat pantia pemberian rekomendasi izin praktik. Namanya Komite Rekomendasi Izin Praktik (KRIP). Selain menilai, komite juga bertugas memberi pembekalan sebelum IDI Cabang mengeluarkan surat rekomendasi.
Komite ini tidak perlu dibayar. Bahkan pada saat pembekalan, tidak jarang komite menyedikan snack dan makan siang kepada seluruh peserta. Pada masa pandemi Covid-19, pembekalan dilakukan secara online. Beginilah tata cara dan adab organisasi profesi dokter kepada anggotanya sebelum menerbitkan surat rekomendasi untuk mengurus surat izin praktik (SIP) di kantor dinas kesehatan.
“Tidak benar kalau SKP tersebut dimaksud untuk mempersulit permintaan rekomendasi dan angka SKP pun telah ditentukan secara terbuka sebelum kegiatan diselenggarakan, sehingga tidak dapat dibeli,” Ungkap dr. Kartono.
Persyaratan IDI masih jauh lebih ringan dibanding yang terjadi di Amerika, dimana seorang dokter wajib membuktikan telah lulus ujian oleh National Board of Medical Examination (NBME) tahap I, II, dan III, baru diberikan rekomendasi.
Maladistribusi dokter
Pasal 14, 15, 16, 17, 18, 19 – UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban menyediakan pelayanan kesehatan. Pasal 4 dan 5 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan, juga menegaskan bahwa: kebijakan menetapkan tenaga kesehatan, merencanakan kebutuhannya, melakukan pengadaan, mendayagunakan, membina, mengawasi, meningkatkan mutu, dan melindunginya adalah tugas dan wewenang pemerintah. Bahkan bila kita telusuri UU N0. 9 Tahun 1960 tentang Pokok Kesehatan, pun menegaskan bahwa penyediaan pelayanan kesehatan menjadi kewajiban pemerintah.
Lalu, mengapa masyarakat, organisasi profesi, dan swasta diajak ikut serta? Karena pemerintah tidak sanggup memikul tugas dan wewenangnya itu sendirian. Pemerintah juga tidak sanggup sendirian menyediakan fasilitas dan logistik kesehatan ke seluruh wilayah NKRI.
Demikian halnya untuk dokter. Pemerintah tidak sanggup mengangkat seluruh dokter menjadi pengawai negeri (ASN). Sebab sekali mengangkat maka berarti berlaku kewajiban pemerintah yang merupakan hak dari ASN. Seperti penggajian, tunjangan, dan jaminan sosial (JK, JKK, JHT, JP, dan JKm). Begitu pula bila akan ditempatkan perlu disediakan fasilitas pelayanan, sarana komunikasi dan transportasi untuk menjangkau warga, perumahan, dan sebagainya.
Belakangan makin sedikit dokter menjadi ASN sehingga makin sulit pula bagi pemerintah untuk mendistribusikan dokter. Karena itu, tahun 1988 muncul gagasan penempatan dokter dengan sistem kontrak pegawai tidak tetap (PTT). Menurut gagasan PTT ini, setiap dokter yang telah menyelesaikan masa bakti (wajib kerja sarjana) maka ia dapat sepenuhnya bekerja di sektor swasta.
Tahun 1991, mulailah kebijakan penempatan dokter baru di Indonesia dengan sebutan Dokter PTT. Bukan pegawai negeri (ASN). Namun dengan berjalannya waktu, program dokter PTT sebagai wajib kerja sarjana (WKS) ditiadakan, kemudian muncul PTT secara sukarela.
Menurut Prof Azrul Azwar, sulit mengatur distribusi dokter dan sulit memenuhi kebutuhan dokter pemerintah. Bahkan, kebijakan sistem kontrak dengan wajib kerja sarjana dapat mendatangkan masalah, sehingga beliau menyarankan agar kebijakan tersebut diganti oleh “bea siswa dengan ikatan dinas.”
Catatan akhir
Di Indonesia sudah beberapa kali terjadi kasus dokter palsu. Mengaku dokter tapi bukan dokter. Ada juga yang pasang plang dan mengaku dokter spesialis tertentu, membagi brosur dan kartu nama, namun setelah ditanyakan kepada IDI dan perhimpunan terkait, ternyata bukan dokter spesialis.
Hal di atas tentu sulit diketahui oleh orang awam, bahkan oleh aparat pemerintah sekali pun. Karena itu, akan lebih muda dan cepat mengetahuinya bila ditanyakan kepada organisasi profesi dokter itu sendiri.
Sebagai salah satu penanggap dalam webinar di atas, penulis ingin menyampaikan delapan poin catatan akhir sebagai berikut:
Pertama, sejak dahulu pemerintah, dalam hal ini Menteri Kesehatan, selalu mendorong organisasi profesi, terutama IDI agar menjadi organisasi yang berdaya, kuat, dan mandiri.
Kedua, bila berita health.detik.com di atas benar, berarti kini situasi sudah berbeda dengan sebelumnya. Kini Menteri Kesehatan yang seharusnya menghargai dan menguatkan organisasi profesi dokter, justru menuduhnya menerima setoran hingga abuse of power.
Ketiga, surat rekomendari IDI dalam pengurusan izin praktik dokter itu bukan atas permintaan IDI, melainkan atas keinginan Menteri Kesehatan sendiri ketika itu, yang kemudian menjadi keinginan negara melalui undang-undang.
Keempat, IDI sangat sadar menerima amanah memberi rekomendasi izin praktik dokter sehingga menempatkannya dalam kerangkan tanggung jawab profesi kepada bangsa dan masyarakat Indonesia.
Kelima, IDI hanya ingin membantu pemerintah dan masyarakat untuk memastikan bahwa orang yang akan melayani kesehatannya adalah benar dokter, kompeten, dan memperlihatkan kesungguhan dalam menjaga etik profesinya.
Keenam, pemberian rekomendasi IDI sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan distribusi dokter.
Ketujuh, IDI tidak diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk ikut campur dalam distribusi dokter. Bila kemudian terjadinya maladistribusi dokter berarti tidak bersangkut pautnya dengan IDI. Kedepan, maladistribusi dokter bukan untuk diratapi, apalagi melempar kesalahan kepada pihak lain, melainkan harus diselesaikan secara cerdas dan profesional.
Wallahu a’lam bishawab.