GONTOR, PosSore — Sinar matahari pagi menyelinap perlahan di balik pepohonan desa Gontor. Embun masih bertahan di ujung-ujung daun, seolah enggan berpisah dari dinginnya malam. Di kejauhan, suara ngaji dari masjid pesantren mengalun lembut, menyatu dengan kehidupan pagi yang sederhana. Di tempat ini, waktu seakan berjalan lebih pelan—mengajak siapa saja yang singgah untuk merenung, belajar, dan pada akhirnya, bersyukur.
Gontor bukan sekadar nama pesantren. Ia adalah ruang sunyi yang penuh makna. Di balik gerbang Pondok Modern Darussalam Gontor, ribuan santri tumbuh dengan disiplin, doa, dan ilmu. Namun di luar pagar itu, ada jejak lain yang juga tak kalah berharga: telaga yang tenang, masjid tua bersejarah, hingga warung pecel sederhana yang menyimpan rasa nostalgia.
Sekitar 20–30 kilometer dari pesantren, terbentang Telaga Ngebel, danau alami yang terletak di kaki Gunung Wilis. Airnya jernih dan luas, dikelilingi bukit hijau dan jalanan berliku yang menenangkan. Tempat ini kerap menjadi tujuan para santri, alumni, atau keluarga santri saat libur akhir pekan atau hari kunjungan.
Tak sedikit alumni yang kembali ke telaga ini hanya untuk duduk diam menatap permukaan air—mengingat masa-masa ketika mereka pernah melewati malam-malam panjang belajar, tidur di asrama, dan berjibaku dengan “studi banting”. Di warung-warung kecil di tepi telaga, secangkir kopi hitam atau wedang jahe seolah menjadi teman setia perenungan.
“Setiap saya ke sini, rasanya seperti pulang. Telaga ini saksi bisu bagaimana kami dulu belajar tentang hidup, bukan hanya ilmu,” ujar Syamsul, salah satu alumni Gontor angkatan 2003.
Jejak Para Guru Bangsa
Tak jauh dari Gontor, di kawasan Jetis, Ponorogo, berdiri sebuah bangunan yang tak kalah bersejarah: Masjid Tegalsari. Bagi sebagian orang, masjid ini mungkin tampak biasa, tetapi bagi warga pesantren, inilah salah satu simpul sejarah penting. Di tempat inilah KH. Hasan Gontor—ayah dari Trimurti pendiri Pondok Gontor—pernah belajar.
Masjid ini menjadi saksi lahirnya pemikiran Islam progresif dan pendidikan karakter yang kini diwariskan melalui sistem Gontor. Banyak alumni yang datang berziarah ke masjid ini, sekadar menunduk, berdoa, atau mengenang jejak spiritual para pendahulu.
Makanan di sekitar Gontor tidak mewah, tapi punya rasa yang tak tergantikan. Salah satu yang terkenal adalah Warung Bu Arti, yang menyajikan nasi pecel dengan sambal kacang yang gurih pedas dan sayuran segar. Di pagi hari, warung ini kerap dipenuhi oleh wali santri, guru, atau tamu pesantren yang ingin mencicipi menu rumahan khas Ponorogo.
Selain itu, ada pula Bakso Pak Kumis di kawasan Mlarak yang legendaris. Kuahnya yang gurih dan bakso uratnya yang kenyal menjadi favorit banyak alumni. Tak jarang, alumni yang berkunjung ke Gontor menyempatkan mampir hanya demi semangkuk bakso dan sejumput nostalgia.
Sore hari, suasana lebih hidup dengan hadirnya angkringan dan warung kopi di sepanjang jalan utama menuju Gontor. Menu sederhana seperti mie rebus, kopi hitam, hingga gorengan panas menjadi penghangat obrolan santai. Di tempat ini, kenangan tentang “hafalan malam”, “ujian lisan”, atau “hukuman berjamaah” biasanya mengalir begitu saja.
“Setelah bertahun-tahun, kadang yang paling saya rindukan bukan bangunannya, tapi aroma gorengan dan canda tawa teman-teman di angkringan,” kata Rudi, alumni Gontor Putra tahun 2007.
Gontor bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga tempat belajar hidup. Kesederhanaan suasana desa, kedalaman nilai-nilai yang diajarkan, hingga keakraban yang terjalin antar-santri menjadikan pengalaman di Gontor tak terlupakan.
Bagi siapa pun yang pernah menginjakkan kaki di sana—baik sebagai santri, tamu, atau wali santri—Gontor selalu meninggalkan rasa. Rasa yang kadang tak bisa dijelaskan, hanya bisa dikenang dalam diam. Dalam embun pagi, suara burung, atau kepulan uap nasi pecel di warung kecil pinggir jalan.
Alhasil, tak semua perjalanan pulang harus menempuh ribuan kilometer. Kadang, cukup duduk di tepi telaga, menyeruput kopi di angkringan, atau mencium aroma pecel panas di warung lama—dan kita pun sampai. Sampai pada satu titik di mana semua rasa itu menyatu: rindu, syukur, dan kenangan.
Gontor, dengan segala kesederhanaannya, adalah salah satu tempat yang menyimpan rasa itu. Rasa yang tertinggal, tapi tak pernah benar-benar hilang. (aryodewo)