JAKARTA, Possore.com– Belum hilang ingatan masyarakat terhadap megaskandal PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang gagal bayar sehingga merugikan keuangan negara Rp16,8 triliun lebih dan penyelesaian kasus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pertanggungan itu sampai sekarang masih dalam proses.
Hari-hari belakangan ini, publik kembali dipertontonkan dengan mega skandal PT Asabri yang menurut Kejaksaan Agung berpotensi mengalami kerugian negara hingga Rp17 triliun lebih. Angka itu karena Kejaksaan Agung mengacu kepada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas keuangan PT Asabri 2019.
Karena itu, anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari Dapil IV Provinsi Jawa Timur, Amin Ak mendesak Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk lebih serius menerapkan early warning system (sistem peringatan dini) dalam pengawasan BUMN.
Terulangnya skandal keuangan di BUMN dengan pola dan modus operandi yang mirip, mengindikasikan tak bekerjanya sistem pengawasan terhadap pengelolaan BUMN. “Rakyat dengan mata telanjang dipertontonkan kasus yang terus berulang dengan pola sama. Jiwasraya dan Asabri hanya merupakan contoh bobroknya perilaku penyelenggara BUMN. Bagaimana sistem peringatan dini Kementerian BUMN bekerja?” tanya Amin.
Berdasarkan audit BPK atas laporan keuangan PT Asabri 2019, ditemukan adanya kelemahan pada sistem pengendalian internal perseroan. BPK juga menyatakan, penilaian harga saham portofolio dan penyertaan reksa dana tidak masuk akal karena tidak mengikuti standar akuntansi yang berlaku.
Salah satu indikasinya, valuasi dan harga reksa dana 2019 yang nyaris tak beranjak dari 2018. Kerugian investasi akibat penurunan harga saham dan unit reksa dana 2019 masing-masing mencapai Rp 5,28 triliun dan Rp 2,2 triliun.
BPK juga melaporkan, kerugian yang dialami BUMN pengelola dana pensiun TNI dan Polri itu masih terkait dua tersangka kasus Jiwasraya. Dan, praktik moral hazard itu terindikasi sudah dilakukan sejak lama dan potensi kerugian yang cukup besar terjadi pada jajaran direksi Asabri sebelumnya. “Kementerian BUMN harus bergerak cepat memeriksa semua indikasi yang ada. Seharusnya praktik-praktik moral hazard bisa dicegah sejak dini,” tegas mantan auditor BPKP itu kepada Possore.com, Rabu (23/12).
Penelusuran, PT Asabri memiliki portofolio investasi di perusahaan milik Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputra, seperti PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) dan PT Hanson International Tbk (MYRX). Keduanya merupakan tersangka utama dalam kasus skandal Jiwasraya.
BPK melaporkan, akibat masalah investasi, rasio modal berbasis risiko (RBC) PT Asabri minus 571 persen pada akhir 2019 dan diprediksi terus turun hingga minus 643,49 persen pada tahun ini. Padahal, sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), RBC minimal perusahaan asuransi ditetapkan 120 persen, membuat Asabri harus menambah asetnya Rp 7,26 triliun untuk memenuhi persyaratan.
BPK juga mengungkapkan temuan atas laporan keuangan PT Asabri yang unaudited 2019, penilaian investasi yang absurd dan penurunan nilai investasi akumulasi dana pensiun (AIP) yang belum diukur secara akurat. BPK memperkirakan, Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas PT Asabri, harus menanggung kerugian komprehensif PT Asabri pada tahun lalu hingga Rp 8,4 triliun.
BPK juga menemukan adanya penurunan nilai investasi dari akumulasi iuran pensiun (AIP) PT Asabri 2019 dibandingkan tahun sebelumnya 29,85 persen atau sekitar Rp 7,5 triliun.
Melihat besarnya kerugian negara pada skandal PT Asabri ini, Wakil Rakyat dari Kabupaten Jember dan Lumajang tersebut meminta Kejaksaan Agung bekerja keras menelisik aliran dana pada kasus ini dan mengejar uang rakyat yang dikorupsi.
Jangan sampai, lanjut Amin, negara dirugikan dua kali, seperti halnya kasus Jiwasraya, dimana uang yang dikorupsi tidak kembali dan negara harus mengucurkan dana talangan untuk mengembalikan hak nasabah dan menjaga keberlangsungan operasional perusahaan. Padahal kondisi APBN kita sudah defisit melampaui tahun-tahun lalu dan harus ditutupi utang yang makin membesar.
“Sangat mungkin terjadinya praktik-praktik ilegal seperti manipulasi nilai saham dan pencucian uang. Jika dibiarkan saya khawatir kasus ini akan terus berulang baik di BUMN yang sama maupun BUMN lainnya. Saya minta pemerintah serius mengawasi kerja penyelenggara BUMN,” demikian Amin Ak. (decha)