JAKARTA (Pos Sore) — Kasus-kasus kekerasan seksual secara bertahap terus terkuak. Menurut pemerhati anak, Dr. Giwo Rubianto Wiyogo, malu dan enggan melaporkan, sebagian hambatan sosial yang membuat kasus kekerasan seksual tidak tertangani, baik aspek hukum maupun pemulihan terhadap korban.
“Kekerasan seksual cukup banyak, namun tidak terdata dengan baik. Kekerasan seksual, sulit dideteksi, karena masyarakat terkadang tidak terbuka,” katanya, di Jakarta, Selasa (27/5).
Melihat kondisi tersebut, Indonesia membutuhkan kepala negara yang memiliki sensitifitas terhadap perlindungan anak. Tidak hanya dalam hal pemenuhan hak dasar, tetapi diperlukan kepala negara yang memiliki atensi terhadap anak yang memerlukan perlindungan khusus.
Karena itu, sebagai pemerhati perlindungan anak, ia meminta capres-cawapres perlu menyampaikan visi dan misinya terkait perlindungan anak, sebagai bagian dari uji publik. Tentunya bukan hanya pada aspek kuratif, tetapi bagaimana kebijakan preventif, promotif dan rehabilitatif sebagai atensi khusus terhadap masalah anak yang saat ini marak terjadi.
“Capres-cawapres perlu memiliki formula strategi yang massif untuk membangun budaya ramah anak, mulai tingkat RT, sampai bangsa yang lebih luas,” tambah mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini.
Wakil Ketua Umum Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) ini, juga meminta capres-cawapres memiliki konsep yang utuh bagaimana agar anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan seksual di lingkungan sekolah yang dewasa ini semakin mengerikan. Capres-cawapres perlu memastikan semua anak Indonesia dapat mengembangkan potensi dan bakatnya, tanpa dihambat oleh beragam masalah; baik masalah ekonomi, sosial, hukum atau masalah lainnya. (tety)