18.8 C
New York
16/05/2025
Ekonomi

Prediksi IMF, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bisa Apa?

Suasana diskusi publik via zoom meeting Universitas Paramadina (foto : Humas/Nur/Possore.id)

JAKARTA (Possore.id) – Universitas Paramadina menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025-2026 Hanya 4,7%: Indonesia Bisa Apa?” secara daring melalui Zoom Meeting pada Senin (28/4/2025).

Dalam paparannya, Wakil Rektor Universitas Paramadina, Handi Risza Idris, mengungkapkan bahwa Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia baru-baru ini memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,7%, berada di bawah ambang batas psikologis 5%.

“Ini merupakan konsekuensi dari warisan tantangan struktural yang belum sepenuhnya terselesaikan di era sebelumnya, dan kini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan Presiden Prabowo,” ujar Handi.

Meski demikian, pemerintah melalui Kementerian Keuangan tetap optimistis dengan menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada tahun 2025. Namun, menurut Handi, asumsi makro dan penyusunan APBN 2025 belum menunjukkan adanya terobosan signifikan.

“Konsumsi rumah tangga masih menjadi motor utama pertumbuhan, sebesar 4,9%. Ketergantungan yang tinggi ini justru mencerminkan kerentanan terhadap guncangan global,” jelasnya.

Stimulus fiskal melalui APBN, yang berkontribusi sekitar 15% terhadap PDB, dinilai tetap krusial. Di tengah beban berat APBN, pemerintah mengandalkan berbagai program prioritas seperti Program Danantara dan program makan bergizi gratis, dengan total anggaran sekitar Rp 750 triliun.

Handi menyoroti pentingnya kesiapan dan perencanaan matang, terutama dalam program ambisius seperti pembentukan 80.000 Koperasi Merah Putih yang dialokasikan Rp400 triliun.

“Kita harus belajar dari pengalaman masa lalu; proyek besar tanpa perencanaan kuat berisiko gagal,” tegasnya.

Perang Dagang Internasional 

Terkait dinamika global, Handi mengingatkan bahwa dampak perang dagang internasional, khususnya proteksionisme Amerika Serikat, telah meningkatkan ketidakpastian ekonomi dunia, memperlambat konsumsi global, dan menunda investasi korporasi.

Meski demikian, ia melihat peluang baru dari kebijakan tarif terhadap produk asal China, Vietnam, dan Bangladesh.

Namun, di tengah peluang tersebut, Handi menilai fundamental ekonomi Indonesia saat ini cukup rapuh.

“Utang negara yang mencapai Rp8.000 triliun, menurunnya daya saing, de-industrialisasi, serta lemahnya produktivitas dan kualitas SDM, membuat Indonesia dikategorikan sebagai negara berisiko ekonomi tinggi” ujarnya.

Apalagi, kebutuhan pembiayaan utang pada 2025 dan 2026 masing-masing mencapai Rp 800 triliun.

Dalam enam bulan pertama pemerintahan baru, menurut Handi, belum terlihat rencana konkret yang realistis dan rasional. Ia menekankan pentingnya evaluasi mendalam terhadap program-program unggulan seperti pembangunan 3 juta rumah per tahun, makan bergizi gratis untuk 83 juta siswa, Koperasi Merah Putih, serta Program Danantara.

Handi menegaskan, untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional, pemerintahan Presiden Prabowo perlu fokus pada tiga langkah utama: memperbaiki komunikasi kebijakan, memperkuat teknokrasi pemerintahan, dan meningkatkan kapasitas eksekusi di lapangan.

“Kita butuh langkah nyata, bukan hanya program ambisius. Pemerintah harus membangun fondasi ekonomi yang kokoh agar Indonesia mampu keluar dari jebakan risiko tinggi dan mencapai pertumbuhan berkelanjutan,” tutup Handi.

Selain Wakil Rektor Universitas Paramadina Handi Risza Idris, juga tampil berbicara Kepala Departemen Makroekonomi INDEF, Dr. M. Rizal Taufiqurrahman, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Dr. Piter Abdullah dan Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri. (Nur).

 

 

 

Leave a Comment