04/11/2025
AktualEkonomi

Potret Pengabdi Industri: Lintong Manurung dan Perjuangan Membangunkan Raksasa Kayu Indonesia

POSSORE.ID, Jakarta — Dari balik kaca mata beningnya, sorot mata Ir. Lintong Manurung, MM, memancarkan kegelisahan yang akrab bagi para pengabdi industri. Tangannya sesekali mengetuk meja, seolah menegaskan ritme keprihatinan yang mengalir deras: tentang hutan-hutan tropis yang merintih, tentang seniman kayu yang terlupakan, tentang mimpi Indonesia sebagai raksasa furnitur dunia yang tertidur pulas.

Di ruang kerjanya yang sederhana, semangat pensiunan Kementerian Perindustrian ini justru berkobar-kobar, mendorong sebuah kebangkitan. Lintong Manurung bukanlah penonton. Jejaknya panjang: dari bangku Teknik Industri ITB, merambah ke Magister Manajemen UNKRIS, mengabdi di Kementerian Perindustrian hingga purna, menjadi Tenaga Ahli DPR RI, dan kini sebagai Konsultan sekaligus Ketua Umum Jaringan Pemerhati Industri dan Perdagangan.

Di luar rapat dan analisis kebijakan, pria berprinsip “Jangan pernah jemu-jemu berbuat kebaikan” ini menyegarkan pikiran dengan olahraga dan bergerak di organisasi sosial dan profesi. Tapi panggilan utamanya jelas: membenahi industri nasional.

“Kita sepakat, ada yang salah,” ujar Lintong membuka percakapan, suaranya tenang namun tegas. Ia membeberkan fakta pahit: kontribusi manufaktur terhadap PDB Indonesia yang pernah menyentuh hampir 30% di era Orde Baru, kini merosot di bawah 20%. “Artinya, tulang punggung perekonomian kita melemah,” katanya, menyiratkan kegagalan kebijakan dan inkonsistensi program, termasuk konsep hilirisasi yang kini ramai diperbincangkan.

Bagi Lintong, jalan menuju Indonesia maju berpenghasilan tinggi hanya bisa ditempuh dengan fokus pada sektor bernilai tambah tinggi, dan manufaktur adalah kuncinya. Di antara sektor manufaktur, matanya tertuju pada furnitur. Alasannya mendasar: potensi alam. “Di dunia tropis, penghasil kayu besar hanya Brasil dan kita,” papar Dewan Pakar Bidang Regulasi Perdagangan DPP HIMKI.

Keunggulan Indonesia lebih mencolok: kayu tropis tumbuh lima kali lebih cepat daripada di Skandinavia. Tapi mengapa justru negara Nordik itu yang mendominasi pasar global? “Di situlah letak kesalahan pengembangan kita,” sesalnya. Indonesia, baginya, hanya menjual bahan baku, bukan nilai tambah. Padahal, potensi bermain di pasar global sangat terbuka lebar.

Lintong bersemangat menyoroti keunggulan produk lokal. “Kita ini seniman!” tegasnya. Desain furnitur Indonesia, menurutnya, adalah masterpiece yang sarat nilai seni dan estetika tinggi, jauh melampaui produk massal seperti IKEA yang ia sebut “untuk orang biasa”. Namun, keunggulan ini terhambat oleh sikap kurang menghargai di dalam negeri sendiri.

Ia menyayangkan furnitur di hotel-hotel internasional, bandara, bahkan kementerian, lebih memilih desain impor yang “tidak jelas”. “Kenapa tidak memperkenalkan desain dalam negeri pada tamu-tamu asing? Itu harta kita, budaya kita!” tanyanya retoris, nada suara terdengar miris.

Lintong yang juga menjabat Dewan Pakar Bidang Regulasi Perdagangan DPP Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menawarkan resep konkret untuk membangunkan raksasa kayu Indonesia.
“Kebijakan harus online dari hulu ke hilir!” tegasnya. Kementerian Kehutanan, Perindustrian, dan Perdagangan harus satu suara menetapkan industri furnitur sebagai sektor strategis. Inkonsistensi kebijakan adalah biang kerok pelemahan industri.

Stop impor furnitur untuk instansi pemerintah! “Semua kementerian, kantor bupati, pakai produk dalam negeri!” serunya. Fasilitasi dan promosi bagi pengusaha lokal harus jauh lebih masif, bukan sekadar pameran setahun sekali. Pemerintah perlu memberikan insentif yang jelas dan terukur.

“Prioritaskan bahan baku untuk industri dalam negeri. Yang kita ekspor seharusnya barang jadi atau setengah jadi, bukan lagi bahan mentah!” Lintong mengingatkan peran asosiasi. Ia mencontohkan surat bersama ke Presiden yang pernah dilakukan betsama Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonedia (HIMKI) saat pandemi. “Kenapa tidak kita lakukan lagi sekarang? Kita harus berteriak lebih keras!”

Perbincangan berakhir, tapi tekad di balik kaca mata itu tak padam. Lintong Manurung, sang pengabdi industri, terusik oleh raksasa kayu yang tertidur di tanahnya sendiri. Ia yakin, dengan keberpihakan sungguh-sungguh, konsistensi kebijakan, dan kebanggaan menggunakan karya anak bangsa, furnitur Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri dan raja di pasar global.

“Kita punya segalanya: bahan baku melimpah, seniman hebat, dan desain bermutu tinggi,” ujarnya penuh keyakinan. “Yang kita butuhkan sekarang adalah kemauan politik untuk membangunkan raksasa itu.” Seperti prinsip hidupnya, ia tak akan jemu berbuat kebaikan, terus mendorong, mengingatkan, demi satu tujuan: melihat masterpiece kayu Indonesia bersinar di panggung dunia. (aryodewo)

Leave a Comment