Oleh Maghfur Ghazali
Dosen Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Institut Attaqwa KH Noer Alie (IAN) Bekasi
MENJELANG pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada Novenber 2024 yang melibatkan pemilihan gubernur di 34 provinsi serta pemilihan bupati/walikota di 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia telah memunculkan berbagai isu tentang siapa mengusung siapa dan siapa mendukung siapa untuk memenangkan calonnya.
Koalisi antar partai pun kemudian menjadi pilihan karena hampir tidak ada satu partai politik pun yang menguasai kursi parlemen (DPRD) baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Sementara Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mengatur bahwa calon kepala daerah harus didukung oleh 20 persen kursi parlemen provinsi atau kabupaten/kota.
Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tegas menyebutkan bahwa calon kepala daerah harus mendapatkan dukungan dari partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat jumlah kursi di DPRD. Khusus untuk pemilihan gubernur, partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki sekurang-kurangnya 20% dari total jumlah kursi di DPRD Provinsi. Untuk pemilihan bupati/walikota, dukungan minimal adalah 20% dari total jumlah kursi di DPRD Kabupaten/Kota.
Di Daerah Khusus Jakarta (DKJ) misalnya jumlah total kursi DPRD nya 106 kursi. Artinya untuk bisa mengajukan pasangan calong gubernur dan wakil gubernur dalam pilkada, partai politik atau gabungan partai politik harus mampu mengumpulkan 21,2 kursi atau dibulatkan menjadi 22 kursi.
Perolehan kursi masing-masing Parpol pada pemilu legislatif 2024 untuk DPRD Jakarta sebagai berikut; PKS 18 kursi, PDIP 15 kursi, Gerindra 14 kuri, Nasdem 11 kursi, Golkar 10 kursi, PKB 10 kursi, PAN 10 kursi, PSI 8 kursi, Partai Demokrat 8 kursi, sementara PPP dan Partai Perindo masing-masing 1 kursi.
Dalam komposisi seperti ini koalisi partai politik mau-tak mau, suka-tak-suka harus dilakukan untuk bisa mengajukan cagub dan cawagub. Polarisasi parpol yang sebelumnya telah bergabung dalam pelaksanaan Pilpres 2024 yang menyebut dirinya sebagai Koalisi Indonesia Maju (KIM) adalah Gerindra, Golkar, PAN, PSI, dan Partai Demokrat. Kabarnya KIM yang punya 50 kursi parlemen Jakarta akan mengusung mantan Gubernur Jabar Ridwan Kamil berpasangan dengan Ketum PSI Kaisang Pangarep.
Celakanya dalam berbagai survey pasangan Ridwan Kamil-Kaisang Pangarep ini tidak cukup mumpuni untuk mengalahkan calon yang diajukan PKS yakni Anies Rasysid Baswedan-Sohibul Iman. Elektabilitas lembaga survey seperti dikutip dari Detiknews (17/7) Anies berada di posisi pertama dengan 29,8%, disusul Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) 20% dan Ridwan Kamil 8,5%., sementara elektabilitas tokoh lainnya berada di kisaran 2% dan 1% saja.
Ketidakpercayaan diri KIM walau dengan dukungan 50 kursi parlemen lokal ini memunculkan berbagai rumor agar bagaimana PKS melepas Anies dan bergabung ke KIM dan menjadi KIM Plus, tentu disertai berbagai rumor lain seperti tawaran menteri di cabinet Prabowo-Gibran, pergantian semua biaya kampanye selama pelaksanaan Pilpres sebelumnya. Sungguh tawaran yang menggiurkan meskipun semua dibantah pihak PKS.
Begitu juga dengan PKB dan Nasdem yang isu sebelumnya telah menyatakan mencalonkan dan mendukung Anies di Pilkada Jakarta. Sebagai mitra koalisi dalam Pilpres yang sebelumnya sama-sama mengusung Anies-Muhamin Iskandar masyarakat Jakarta percaya bahwa Nasdem-PKB-dan PKS akan kompak terkait rumor-rumor dimaksud.
Tetapi lagi-lagi KIM Plus PKS masih juga belum percaya diri untuk bisa memengani pilkada Jakarta selama Anies Baswedan masih bisa melenggang. Karena itu semakin mendekati berakhirnya waktu pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU) isu pun muncul semakin santer menyeret PKB dan Nasdem ke KIM Plus, yang sialnya isu itu tak dibantah maupun diiyakan oleh dua partai ini.
Intinya isu yang santer beredar jelang Pilkada Jakarta, semua partai bergabung di KIM Plus dan hanya menyisakan PDIP sendirian yang tak bisa mengajukan calon dengan dukungan 14 kursi DPRD. Seandainya pun Partai Perindo dan PPP berkoalisi dengan PDIP baru terkumpul 16 kursi dan itu masih kurang untuk mengusung calon gubernur Jakarta. Dengan isu terakhir komposisi KIM Plus yang mengajukan Ridwan Kamil akan memenangi pilkada Jakarta karena melawan kotak kosong.
Dalam konteks Pilkada Jakarta 2024, isu-isu yang beredar dapat menjadi alat yang efektif untuk mempengaruhi opini publik dan dinamika politik. Teori konstruksi sosial dan framing dapat membantu menjelaskan bagaimana informasi dan isu diproses, disajikan, dan diterima. Oleh karena itu, memahami cara-cara dua teori ini bekerja dapat membantu dalam menilai informasi secara kritis dan membuat keputusan yang lebih informasional
Teori Konstruksi Sosial (Social Constructionism) yang dipelopori Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966), misalnya berargumen bahwa realitas sosial itu dibentuk melalui interaksi dan komunikasi antara individu dalam masyarakat. Artinya, bagaimana sesuatu dipahami dan diterima sebagai “kebenaran” sering kali dipengaruhi oleh proses komunikasi dan interaksi sosial.
Dengan menciptakan dan menyebarluaskan isu-isu tertentu, kelompok atau individu dapat membentuk persepsi publik tentang suatu hal. Ini bisa digunakan untuk mempengaruhi opini publik, menciptakan ketegangan politik, atau mengalihkan perhatian dari isu-isu lain. Dalam konteks politik, penciptaan isu tentang koalisi atau aliansi yang tidak ada bisa digunakan untuk menciptakan ketidakpastian atau keraguan di kalangan pemilih, yang mungkin berujung pada pengalihan dukungan dari kandidat tertentu.
Demikian halnya dengan Teori Framing yang dikembangkan secara substansial oleh Erving Goffman dalam bukunya Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience (1974). Teori ini menyarankan bahwa cara informasi disajikan (atau “dijelaskan”) dapat mempengaruhi bagaimana audiens memahami dan menafsirkan isu tersebut. Framing melibatkan penekanan pada aspek tertentu dari suatu isu dan menyembunyikan aspek lainnya.
Dengan membingkai informasi atau isu dengan cara tertentu, pembuat pesan dapat memengaruhi bagaimana orang melihat dan merespons informasi tersebut. Ini bisa mencakup penyebaran narasi tertentu untuk mendukung tujuan politik, mempengaruhi hasil pemilu, atau memperlemah lawan politik.
Misalnya saja saat media atau politisi menyajikan berita tentang koalisi politik yang tidak ada secara terus-menerus, mereka bisa membingkai informasi tersebut untuk menimbulkan kekhawatiran atau kebingungan di kalangan pemilih. Hal ini bisa membuat isu tersebut lebih menonjol dalam pikiran publik meskipun faktanya tidak akurat.
Penciptaan dan penyebaran isu-isu seperti ini sering kali dilakukan untuk mempengaruhi dinamika politik, baik dengan mengubah persepsi publik, merusak reputasi lawan, atau memobilisasi dukungan untuk agenda tertentu. Nah sekarang masih percaya isu atau lakukan cek fakta dan pengumpulan data terlebih dahulu? **