JAKARTA (Pos Sore) — Dari 415 kabupaten dan 93 kota yang ada di Indonesia, hanya ada sekitar 10 kota yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pilkada simetris. Sedangkan sisanya, sebenarnya belum mampu menyelenggarakan pilkada langsung dengan berbagai alasan. Tetapi untuk memutuskan Pilkada asimetris ini butuh political will dari pemerintah.
Demikian yang disampaikan Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, pakar Otonomi Daerah yang pernah menjabat Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri pada 2011, saat berbicara dalam diskusi bertemakan “Pembangunan Ramah Institusional-Politikal pada Tata Kelola Pemilihan Kepala Daerah: gagasan Pilkada Asimetris” yang diadakan Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia (FRI), dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Jumat (26/6/2020).
Sebenarnya, kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, pilkada asimetris bukanlah mekanisme pemilihan kepala daerah yang baru di Indonesia. Model ini telah diterapkan di 4 provinsi yakni Nangroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Papua. Keempat propinsi ini memiliki kekhususan dan keistimewaan.
Meski sudah dilaksanakan di sejumlah daerah, pro dan kontra terhadap wacana pilkada asimetris terus berkembang. Ada yang berpandangan pilkada asimetris diyakini dapat mengurangi ekses negatif pilkada simetris. Sementara yang kontra lebih mempertanyakan dasar konstitusi, indikator yang digunakan, kualitas demokrasi hingga partisipasi publik dalam berdemokrasi.
“Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan pemilihan kepala daerah dilaksanakan dengan cara-cara demokrasi. Apakah demokrasi ini harus pemilihan langsung atau memungkinkan menggunakan sistem perwakilan. Penjabaran pasal 18 UUD 1945 ini penting dilakukan sebagai dasar konstitusi sebelum wacana Pilkada asimetris benar-benar diperluas ,” kata Pontjo yang juga Ketua Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) dan Ketua Umum Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI).
Pontjo menyampaikan, salah satu kelebihan dari pilkada asimetris ini adalah demokrasi diwarnai dengan wajah kearifan lokal. Hal yang sejatinya sangat penting dipertahankan mengingat Indonesia dibangun atas dasar keberagaman baik suku, bangsa, agama maupun adat istiadat dan budaya. Tak hanya itu, dalam pilkada asimetris, akan terjadi perubahan sistem demokrasi, dari demokrasi langsung menjadi demokrasi dengan perwakilan.
Sementara itu, Ketua FRI Prof Dr Yos Johan Utama SH MH mengatakan pilkada simetris yang lahir setelah reformasi 1998, sebenarnya lahir dari keinginan masyarakat yang terpendam selama dua periode pemerintahan, orde lama (Orla) dan orde baru (Orba). Pada dua orde tersebut, figur presiden menjadi pusat kekuasaan. Keinginan terpendam itu melahirkan pemilihan langsung di semua jenjang.
“Semua jenjang pemerintahan, pemimpinnya kemudian dipilih rakyat secara langsung mulai dari presiden, gubernur, dan bupati serta walikota. Demikian pula untuk para wakil rakyat yang ada di DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten Kota, semuanya dipilih langsung oleh masyarakat memakai metode suara terbanyak,” jelas Prof Yos.
Namun ternyata, dalam pelaksanaannya kemudian, pilkada simetris menimbulkan banyak masalah yang membahayakan sistem demokrasi di Indonesia. Selain polarisasi kelompok masyarakat, politik uang, buruknya kinerja pemimpin daerah, ternyata Pilkada simetris juga membawa konsekuensi biaya yang mahal. Yang memprihatinkan, ekses tersebut menjadi berkelanjutan.
Itu terlihat dari banyaknya kepala daerah dan anggota legislatif yang ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Data menunjukkan sejak digelarnya pilkada simetris Juni 2005 hingga kini tercatat ada 423 kepala daerah yang tersandung kasus hukum, sebagian besar merupakan kasus korupsi.
Melihat berbagai ekses negatif dari pilkada langsung tersebut, maka diusulkan agar pilkada simetris tidak diberlakukan bagi kabupaten/kota. Kecuali untuk kabupaten/kota yang memang benar-benar siap dan memiliki kemampuan baik dari segi SDM, pembiayaan, tingkat pendidikan masyarakat maupun sarana penunjang lainnya.
Feri Amsari, dosen Universitas Andalas, yang menjadi narasumber, memandang pilkada asimetris ini mungkin saja pelaksanaannya diperluas di semua daerah di Indonesia. Konstitusi yang disusun oleh founding father (para pendiri negara) memberikan peluang dilakukannya demokrasi dalam bentuk lain diluar demokrasi langsung. “Dalam konstitusi UUD 1945 hanya satu hal yang tidak boleh diubah yakni bentuk negara kesatuan republik Indonesia,” tegasnya.
FGD tersebut juga menampilkan pembicara Wakil Rektor Universitas Diponegoro Prof Budi Setiyono, Pengutus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Prof Dr Syamsuddin Haris, dan Dewan Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latief. (tety)