JAKARTA (Pos Sore) — Kasus penelantaran 75 pelaut perikanan Indonesia di Cape Town, Afrika Selatan, yang dilakukan perusahaan perikanan Taiwan bekerjasama dengan agen pengawakan kapal Indonesia, berujung pada rencana Federasi Pekerja Transpor Internasional atau ITF (International Transport worker’s Federation) untuk melaporkannya ke Interpol karena sarat dengan tindak pidana.
Selain melakukan penipuan dan tidak membayar gaji pelaut yang bekerja di kapal perikanan Taiwan, mereka juga diduga memalsukan dokumen kepelautan( buku pelaut dan perjanjian kerja laut/PKL). Bahkan, ada perusahaan yang memungut biaya kepada pelaut sebelum naik kapal dan mengarah pada human trafficking.
“ITF akan melaporkan kasus yang merugikan pelaut Indonesia itu ke Interpol,” tegas Presiden Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Hanafi Rustandi seusai penyerahan bantuan ITF kepada 75 pelaut perikanan yang disengsarakan perusahaan perikanan Taiwan, Senin (19/5).
Pernyataan Hanafi yang juga Koordinator ITF di Indonesia itu mempertegas ucapan ITF/IUF Programe Leader, Liz Blackshaw, ketika menyerahkan bantuan sebesar US$1000 kepada pelaut yang hingga kini gajinya belum dibayar. Bantuan juga diserahkan oleh ITF Inspector Cape Town, Cassiem Augustus, yang ikut menyelamatkan 75 pelaut Indonesia, setelah 7 kapal ikan Taiwan itu ditangkap dan ditahan oleh Imigrasi di Cape Town.
Menurut Liz, kasus pelaut Indonesia di Cape Town termasuk kasus besar yang ditangani ITF, seperti yang terjadi di Spanyol, Selandia Baru dan Irlandia. “Semua kasus ini mendapat perhatian serius ITF dan segera dilaporkan ke Interpol,” tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, setelah ditahan selama 2 bulan di Cape Town, ke-75 pelaut perikanan itu pada 18 Maret 2014 dipulangkan ke Indonesia atas bantuan Pemerintah Afrika Selatan dan KBRI di Pretoria. Sementara itu, agen pengawakan kapal berjanji akan menyelesaikan hak-hak pelaut jika perusahaan di Taiwan tidak membayar gajinya.
Namun hingga sekarang, hak-hak pelaut itu belum dibayar juga. Sehingga ITF terketuk untuk memberikan bantuan kemanusiaan sebesar US$ 1000 per orang.
“Dengan bantuan ITF ini, pihak lain yang seharusnya memberikan bantuan mestinya malu karena tidak melakukan hal ini,” sindir Liz.
Penyerahan bantuan ini juga disaksikan pejabat Ditjen Perhubungan Laut, Kemenhub, Kemenlu, serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI.
Dalam kesempatan itu, sejumlah pelaut mengungkapkan hingga saat ini gaji yang belum dibayar antara 7 sampai 15 bulan. Beberapa pelaut ada yang merasa ditekan oleh perusahaan ketika berusaha minta gajinya.
Bahkan ada seorang pelaut merasa tertipu setelah menandatangani perjanjian pinjam uang Rp10 juta, karena sampai sekarang gaji selama 15 bulan sebesar Rp50 juta, tidak juga dibayar.
Lebih jauh Hanafi mengatakan, perusahaan yang merekrut pelaut perikanan tersebut juga akan dilaporkan ke Mabes Polri untuk membongkar tuntas kasus pemalsuan dokumen kepelautan yang selama ini terjadi.
Di sisi lain, KPI juga mendesak pemerintah untuk menindak tegas perusahaan yang melanggar aturan dalam proses perekrutan dan penempatan pelaut di kapal asing. Tindakan tegas akan membuat efek jera sehingga kasus-kasus yang merugikan pelaut tidak terulang kembali.
Untuk mencegah terulangnya kejadian seperti itu, Ditjen Perhubungan Laut akan memperketat verifikasi dokumen kepelautan yang diajukan oleh perusahaan pengawakan kapal. Langkah ini sebagai realisiasi peraturan Menteri Perhubungan No. 84/2013 tentang prosedur penempatan pelaut di kapal.
Dalam peraturan ini, semua perusahaan pengawakan kapal harus memiliki SIUPAL (Surat Izin Usaha Pelayaran). “Agar tidak tertipu, pelaut yang akan beraangkat keluar negeri harus mencari perusahaan yang telah memiliki SIUPAL,” tegas R. Sibarani, pejabat Direktorat Perkapalan dan Kepelautan Ditjen Perhubungan Laut. (hasyim)