Promblem di Fasyankes:
• Mutu pelayanan. Pelayanan yang tidak sesuai standar profesi dan standar pelayanan kesehatan yang telah disahkan oleh pihak berwenang, seperti pelayanan yang tidak memadai (substandard) atau berlebihan (overutilisasi), sering berakibat tuduhan error, moral hazard atau bahkan tuduhan penipuan (fraud).
• Klaim fiktif. Ada kasus fasyankes “nakal” yang mengajukan klaim fiktif untuk mendapatkan keuntungan, seperti merekayasa diagnosis pasien.
• Keterbatasan fasilitas. Ombudsman RI menemukan adanya praktik penolakan pasien BPJS di beberapa fasyankes. Meski diskriminatif, hal ini sering kali terjadi karena fasyankes menghadapi masalah keterbatasan tenaga kesehatan, alat, atau tempat tidur.
• Penolakan pasien peserta program JKN. Terkadang, pasien peserta program JKN ditolak di fasyankes dengan alasan seperti kuota penuh, keterbatasan alat, atau dianggap tidak gawat darurat, yang bisa berujung pada penderitaan pasien.
• Pembatasan layanan peserta program JKN. Beberapa fasyankes membatasi layanan untuk pasien peserta program JKN. Misalnya, kasus kontroversial tentang klaim bahwa 144 jenis penyakit tidak ditanggung, yang sebenarnya adalah kriteria kompetensi dokter.
• Diskriminasi pasien peserta program JKN. Pasien peserta program JKN sering mengeluhkan perlakuan yang berbeda atau diskriminatif dibandingkan pasien non-JKN. Beberapa fasyankes bahkan mencoba membatasi jumlah pasien JKN yang dilayani.
• Keterbatasan sumber daya. Fasyankes, terutama di daerah, mungkin menghadapi keterbatasan tenaga kesehatan, sarana, dan prasarana yang memadai, sehingga berdampak pada kualitas layanan bagi peserta program JKN.
