Penyuluh Antikorupsi, Bobson Samsir Simbolon (foto: Possore.id/Nur)
Jakarta, Possore.id – Advokat dan penyuluh antikorupsi muda, Bobson Samsir Simbolon mengungkap adanya dugaan sejumlah kejanggalan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid pada Senin 3 November 2025 lalu.
Bobson menilai ada dugaan kejanggalan dalam proses penangkapan dan penetapan tersangka tersebut terkait kronologi dan konstruksi perkara oleh KPK.
“Saya juga sebagai masyarakat Riau menjadi penuh tanda tanya atas banyaknya kejanggalan yang terjadi pada saat OTT tersebut. Kejanggalan itu muncul dari penjelasan dan keterangan resmi yang disampaikan KPK pada saat konferensi pers, khususnya pada uraian kronologi dan konstruksi perkara,” kata Bobson saat dihubungi, Sabtu 22 November 2025.
Sekedar diketahui, pada Rabu 5 November 2025, KPK mengumumkan telah menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid (AW), Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPRPKPP) Riau M Arief Setiawan (MAS), serta Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M Nursalam (DAN) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.
Bobson mengungkapkan, kejanggalan pertama, KPK tidak menjelaskan kapan AW memerintahkan atau meminta MAS dan DAN untuk untuk meminta uang kepada para Kepala UPT, baik disampaikan secara langsung atau melalui pesan.
“Justru yang muncul adalah diksi ‘hanya satu matahari’ dan ‘jatah preman’, sehingga diksi itu membangun penilaian buruk dari masyarakat terhadap AW, seolah-olah AW sebagai sosok kejam, arogan, dan seorang preman,” ungkap Bobson.
Bobson menjelaskan, kedua diksi itu tidak menggambarkan peran dan kualitas AW dalam rangkaian peristiwa dugaan tindak pidana korupsi pemerasan yang disangkakan kepada Abdul Wahid.
“Diksi tersebut bukan merupakan perwujudan dari adanya niat meminta sejumlah uang dengan cara memaksa dan mengancam. Mengapa KPK lebih memilih menyematkan diksi ‘hanya satu matahari’ dan ‘jatah preman’ terhadap diri AW daripada menerangkan kapan dan di mana niat AW disampaikan kepada MAS dan DAN untuk melakukan pemerasan terhadap para Kepala UPT?” paparnya.
Kejanggalan kedua, Bobson menyoroti pernyataan KPK terkait MAS dan DAN adalah representasi dari AW, sehingga apapun yang dilakukan oleh MAS dan DAN hal itu merupakan niat dan perbuatan dari AW.
“Hal itu adalah kecerobohan KPK. Sebab dalam tindak pidana, peran para pelaku masing-masing harus nyata dan terang benderang, tidak bisa peran seorang pelaku diwakilkan atau direpresentasikan oleh pelaku lainnya,” terang Bobson.
Bobson juga menjelaskan mengapa peran pelaku dalam tindak pidana tidak bisa diwakilkan atau direpresentasikan oleh pelaku lainnya. Hal ini karena peran pelaku dalam tindak pidana adalah unsur penting untuk menentukan apakah dia orang yang melakukan atau membantu melakukan atau turut serta melakukan.
“Jika KPK mengatakan MAS dan DAN adalah representasi dari AW, seluruh perbuatan dan tindakan MAS dan AW menjadi perbuatan dari AW juga? Mengapa AW harus bertanggung jawab atas perbuatan dan tindakan dari MAS dan DAN?” tanya Bobson.
Kejanggalan ketiga, lanjut Bobson, adalah KPK yang menerangkan pada Mei terjadi 2 kali pertemuan antara Sekretaris Dinas PUPRPKPP Ferry Yunanda (FRY) dengan Kepala UPT, yang menghasilkan “kesepakatan” persentase jumlah uang yang akan diberikan oleh para Kepala UPT.
“Jika dihubungkan antara peristiwa tersebut dengan dugaan pemerasan yang disangkakan kepada AW, hal itu adalah justru menunjukkan tidak ada paksaan atau ancaman dalam penyerahan uang tersebut. Sebab peristiwa penyerahan uang tersebut didahului dengan “kesepakatan” antara FRY dan para Kepala UPT,” ungkapnya.
Bobson menjelaskan, kesepakatan adalah bentuk kebebasan berkehendak pihak-pihak dalam kesepakatan. Sehingga penyerahan uang oleh para Kepala UPT adalah kehendak masing-masing yang lahir dari ‘kesepakatan’, bukan karena paksaan dan ancaman.
“Jika KPK mengakui pada Mei 2025 benar terjadi ‘kesepakatan’ antara FRY dan para Kepala UPT, masihkah terjadi pemerasan pada 3 November?” imbuhnya.
Kejanggalan keempat, Bobson menyoroti penjelasan KPK terkait penyerahan uang pada Senin 3 November 2025 atau bertepatan dengan OTT. Di mana, KPK menyebut ada uang sebesar Rp450 juta yang dialirkan kepada AW melalui MAS, serta Rp800 juta diduga diberikan langsung kepada AW.
“Namun pada faktanya, pada saat KPK menangkap AW, tidak ada satu rupiah pun ditemukan dari AW. Padahal, seharusnya KPK menemukan uang Rp450 juta dan Rp800 juta itu dari AW karena diserahkan pada hari yang sama dan dalam waktu yang tidak lama pula,” imbuh Bobson.

KPK, sambungnya, menemukan uang sebesar Rp750 juta bukan dari diri AW, tetapi di kediaman AW di Jakarta Selatan yang letaknya sangat jauh dari tempat AW ditangkap di Riau. “Mengapa KPK tidak jujur menyampaikan peristiwa penyerahan uang pada 3 November?” tanya Bobson.
Kejanggalan kelima, mata uang asing yang diungkap KPK senilai Rp800 juta yang diamankan dari rumah AW di Jakarta Selatan. Namun, KPK tidak menerangkan di mana dan dari siapa uang tersebut diamankan.
“Apa yang ditutupi KPK terkait uang senilai Rp800 juta itu? Apakah uang itu diamankan dari Kepala UPT atau sudah terkumpul ditangan satu orang lalu diamankan oleh KPK? Hal itu sangat penting untuk mengetahui apakah uang itu masih akan dikumpulkan atau sudah terkumpul lalu menunggu diserahkan? Mengapa KPK tidak menjelaskan hal penting itu?” imbuhnya.
Bobson berharap agar kejanggalan itu tidak menjadi kecurangan dan kesewenang-wenangan KPK dalam kegiatan tangkap tangan.
Urusan Teknis
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak pada Rabu 5 November 2025 menjelaskan alasan mengumumkan status AW kepada publik pada Rabu, atau lebih dari 1 x 24 jam setelah ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin 3 November 2025, adalah karena urusan teknis belaka.
Tanak menjelaskan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya mengatur mengenai dalam tindakan tangkap tangan, penyelidik diberikan waktu 1 x 24 jam untuk melakukan pemeriksaan dan mendalami ada atau tidaknya suatu tindak pidana korupsi.
Setelah menemukan alat bukti yang cukup, kata dia, ditetapkan sejumlah pihak yang ditangkap dalam OTT sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi.
Oleh sebab itu, dia mengatakan KPK dalam kurun waktu 1 x 24 jam pasca-OTT sudah menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.
“Hal yang penting dan yang jelas, KPK dalam menjalankan tugasnya tidak menyimpang dari aturan yang berlaku. Tentunya hukum acara pidana yang berlaku, di mana penyelidik melakukan penangkapan dan meminta keterangan dalam tempo 1 x 24 jam sudah bisa menetapkan apakah para pelaku yang tertangkap ini perbuatannya dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi atau tidak,” jelasnya (*)
