Suasana diskusi di Universitas Paramadina melalui zoom meeting, Jumat (11/4/2025) – foto Humas.
JAKARTA (Possore.id) – Wakil Rektor Universitas Paramadina Dr. Handi Risza Idris mengungkapkan fenomena perang dagang “Trump Trade War” mengingatkan pada siklus 100 tahunan yang dikenal dengan istilah “Great Depression” atau Depresi Besar yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1929.
“Saat itu, bursa efek New York Stock Exchange mengalami kehancuran besar hingga puluhan juta saham menjadi tidak bernilai” ujar Dr. Handi pada diskusi di Universitas Paramadina bertajuk “Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia” melalui zoom meeting, Jumat (11/4/2025).
Handi menyoroti Undang-Undang Tarif Smoot-Hawley yang diberlakukan pada tahun 1930. Undang-undang ini diusulkan oleh Senator Smoot dan Hawley dengan menaikkan tarif masuk untuk melindungi produk dalam negeri Amerika dari gempuran impor, terutama dari Eropa.
Namun, kebijakan tersebut justru memperburuk kondisi ekonomi Amerika dan dunia, memicu krisis global yang berlangsung hampir satu dekade.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Iman Rachman, menyampaikan serangkaian langkah strategis yang telah diambil oleh BEI dalam merespons gejolak pasar yang terjadi akibat faktor global, termasuk ketegangan dagang yang memengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam beberapa waktu terakhir.
Pada 18 Maret 2025, ketika IHSG mengalami penurunan drastis hingga -5%, BEI secara sigap melakukan trading haltatau penghentian sementara perdagangan selama 30 menit sebagai upaya untuk memberikan ruang stabilisasi pasar.
Langkah serupa juga diterapkan pada 8 April 2025, ketika IHSG anjlok hingga -8% menyusul kebijakan tarif baru dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang memicu kekhawatiran pelaku pasar global.
Menindaklanjuti kondisi tersebut, BEI bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil beberapa kebijakan penting pada periode 2–19 Maret 2025.
Yaitu penundaan pelaksanaan short selling untuk meredam tekanan jual; penerbitan kebijakan buyback saham tanpa melalui RUPS, guna mempermudah emiten dalam menstabilkan harga saham, pemberian fleksibilitas bagi emiten untuk mengambil langkah-langkah stabilisasi harga di tengah tingginya volatilitas dan peningkatan kepercayaan investor, melalui komunikasi aktif dan kebijakan yang responsif.
Tak hanya itu, pada 8 April 2025, BEI juga melakukan penyesuaian ketentuan batasan Auto Rejection Bawah (ARB) menjadi 15% untuk saham di Papan Utama, Pengembangan, dan Ekonomi Baru, serta produk ETF dan DIRE. BEI juga memperbarui ketentuan trading halt sebagai bagian dari upaya penyesuaian terhadap dinamika pasar.
Dalam menghadapi dinamika pasar yang penuh tantangan, BEI telah merancang strategi jangka pendek dan jangka panjang guna menjaga stabilitas serta memperkuat ketahanan pasar modal Indonesia.
Dalam jangka pendek, BEI menempuh sejumlah langkah strategis yang difokuskan pada pemulihan kepercayaan investor dan stabilitas pasar.
Pertama, dilakukan komunikasi aktif dengan publik dan media untuk menjaga persepsi positif dan membangun kembali kepercayaan pelaku pasar.
Selanjutnya, BEI melakukan penyesuaian terhadap aturan perdagangan, termasuk pengaturan batas Auto Rejection Bawah (ARB) dan mekanisme trading halt, sebagai bentuk respons terhadap volatilitas pasar.
Di sisi regulasi, relaksasi aturan buyback saham oleh OJK juga menjadi langkah penting, di mana emiten kini dapat melaksanakan aksi buyback tanpa perlu persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Selain itu, penguatan pengawasan pasar atau market surveillance terus ditingkatkan guna mendeteksi dan mengantisipasi aktivitas perdagangan yang tidak wajar di tengah kondisi pasar yang penuh ketidakpastian.
Sementara itu, untuk memperkuat daya tahan pasar modal dalam jangka panjang, BEI mengedepankan strategi-strategi yang lebih struktural. Salah satunya adalah diversifikasi produk melalui pengembangan instrumen-instrumen baru seperti Single Stock Future, Exchange Traded Fund (ETF) berbasis emas, dan Structured Warrant (SW).
BEI juga berkomitmen untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi proses penawaran umum perdana saham (IPO), sehingga dapat mendorong pertumbuhan jumlah emiten baru.
Tak kalah penting, peningkatan likuiditas dan modernisasi infrastruktur perdagangan menjadi fokus utama, dengan tujuan menciptakan pasar modal yang inklusif, efisien, dan mampu bersaing secara global.
“Stabilitas dan kepercayaan pasar adalah prioritas utama kami. BEI berkomitmen untuk terus menjaga integritas pasar dan melindungi kepentingan seluruh investor di tengah tantangan global yang dinamis,” ujar Iman Rachman.
Pada diskusi di Universitas Paramadina ini, juga tampil sebagai narasumber Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Dr. Aviliani, Direktur Utama PT Mandiri Sekuritas, Dr. Oki Ramdhana dan Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, MPP (*)